“Cermin-cermin di dinding, siapakah
yang paling cantik di muka bumi ini”
“Denialah
yang paling cantik di muka bumi ini” kata Denia dengan suara yang dibuat
seperti suara penyihir, setelah tadi ia mengajukan pertanyaan sendiri di depan
cermin yang tergantung di dinding kamarnya. Selesai berucap seperti itu, gadis
itu langsung tertawa sendiri mengingat lagi pertanyaan dan jawaban konyol yang
baru saja ia ucapkan. Sekali lagi ia menatap wajahnya yang terpantul didalam
cermin. Denia kembali menghela napas. Denia..Denia..
mana mungkin lo itu cewek paling cantik di buka bumi ini, pastilah ada yang
lebih cantik lagi dari lo..sadar Denia, lo itu bukan Putri Salju yang cantiknya
ngalahin Ratu jahat. Denia berkata didalam hati.
“Ya
ampun Denia, kamu itu lagi ngapain sih, masih aja berdiri didepan cermin. Mau
berapa lama juga kamu pelototin wajah kamu dicermin gak akan ada yang berubah.
Udah sana pergi kesekolah, Papi udah nungguin tuh”. Denia yang masih asik
menatap wajahnya dicermin kaget ketika Mami nya sudah ada di depan pintu
kamarnya dan mengomel seperti biasanya. Denia yang sudah sangat hapal apa saja
kata-kata Mami kalau sedang memarahinya langsung menyambar tas sekolah yang
tergeletak diatas kasur dan langsung ngeloyor kabur ketempat Papi yang sudah
menunggunya didalam mobil tapi tetap tidak lupa berpamitan terlebih dahulu
dengan Mami.
Denia
Putri Handoyo, putri tunggal keluarga konglomerat Handoyo ini dalam urusan
materi ia tidak pernah kekurangan apapun. Ayah yang tampan seorang pengusaha
kaya dan terkenal sampai keluar negeri dan Ibu mantan model yang cantiknya luar
biasa selalu memberikannya perhatian dan setiap keinginannya pasti akan
terpenuhi. Tapi dalam hidupnya hanya ada satu masalah yaitu ia tidak punya
wajah cantik seperti wajah Ibunya. Bahkan sampai ada tetangga yang mengatakan
kalau ia sebenarnya bukan anak kandung kedua orang tuanya, gimana gak sedih di
bilang seperti itu. Kalau dulu, saat Denia mendengar orang berkata seperti itu,
ia akan langsung menangis dan marah-marah sendiri dikamarnya. Tapi sekarang hal
itu sudah tidak lagi jadi beban untuk gadis itu. sekarang ia masa bodoh dengan
apa yang dikatakan orang, toh jelas-jelas dia anak kandung kedua orang tuanya
dan itu sudah terbukti dengan tes DNA yang pernah dilakukannya dulu ketika ia
masih tidak percaya dengan perkataan orang tuanya. Denia menatap jalanan
Jakarta yang memang selalu macet dan jika ingin tidak macet ya jangan naik
mobil alias jalan kaki saja, dijamin deh gak ada macet-macetnya, tapi yang ada
kaki kalian yang akan kena sialnya. “Nia” panggil Papi yang duduk disampingnya.
“Ya
Pi” jawab denia masih dengan mata menatap ke Jalanan.
“Papi
dengar minggu depan sekolah kamu ada pementasan. Kelas kamu mau pentas apa
nak?” tanya Papi semangat. Denia yang baru ingat soal itu langsung panik, ia
lupa kalau harus memberitahu ketua kelas jawaban atas permintaan temannya untuk
dia menjadi pemeran utama dalam pementasan. Sebenarnya Denia tidak akan menolak
kalau perannya itu biasa-biasa saja, tapi masalahnya kelas nya akan mementaskan
cerita Putri salju tapi bukan Putri salju, aneh kan, makanya Denia belum
memberikan jawaban atas peran yag akan dimainkannya. Bagi Denia jika ia
mengiyakan peran tersebut untuknya, itu sama saja ia memberitahukan kepada
semua orang tentang hidupnya. “Itu...eng” Denia bingung harus menjawab apa.
“Itu..cerita
Putri salju Pi” katanya pelan tidak pasti “Eh tapi bukan cerita Putri salju
seutuhnya sih Pi..ng..gimana ya..” Denia semakin bingung menjelaskan. Papi yang
masih menunggu jawabannya tersenyum melihat anaknya yang sedang kebingungan.
Denia yang masih bingung ikut nyegir saat melihat Papinya tersenyum.
***
“Denia”
panggil Asti ketua dalam pementasan di kelasnya. Denia menyembulkan kepalanya
dari balik tangannya yang masih terlipat di atas meja. “Mm” ucap Denia dengan
wajah mengantuk. “Lo mau kan jadi Putri Salju di pementasan kali ini” Denia
masih belum menjawab.
“Iya
Nia, mau ya, cuma lo yang pas meranin Putri Salju” sahut temannya yang lain,
bahkan teman-teman yang tadinya asik sendiri ikut memohon-mohon padanya.
Cocok apa maksudnya nih, apa maksud mereka
tampang gue ini cocok jadi orang tertindas ya, atau karena cerita ini bukan
cerita Putri Salju jadi tampang gue ini cocok gitu. Denia menggerutu di
dalam hatinya. Masih dengan tampang cemberut ia mengangguk pelan, menyetujui
permintaan teman-temannya. Yah tidak
apalah membantu sesekali, bantinnya lagi.
“Thanks
banget Nia, oiya jadwal latihan dan naskahnya nanti pas pulang sekolah gue
kasih ke lo ya” Asti menepuk pundak Denia dan kemudian berlalu dengan tampang
girang kembali ke bangkunya. Setelah Asti kembali ke asalnya, Denia kembali
menghela napas. Ia kembali berpikir apa keputusannya ini tepat atau tidak.
Apalagi pementasan ini akan di tonton semua teman-teman dari kelas sebelah, dan
itu berarti Cristian juga akan menyaksikan pentasnya ini. Denia mengacak-acak
rambutnya sendiri, tandanya ia sedang galau.
Seperti
yang dijanjikan, setelah sekolah usai Asti memberikannya jadwal latihan dan
juga naskah yang harus dihapalnya. Sambil menunggu supirnya menjemput, Denia
menyempatkan dirinya membaca naskah yang baru didapatkannya. Pertama-tama ia
membaca judul naskah itu ‘Bukan Putri Salju’, Denia hampir tertawa saat membaca
judul itu. Ia tidak pernah mendengar ada pementasan dengan judul seperti itu,
itu berarti ini pertama kalinya cerita ini akan dipentaskan dan ia pula pemeran
utamanya. Kemudian ia membaca bagian awal cerita itu, hampir sama dengan cerita
aslinya, namun ada yang membedakan cerita ini dengan cerita aslinya yaitu di
sini tidak ada Ibu tiri yang jahat dan permasalahannya ada pada diri si Putri
salju sendiri. Semakin lama ia membaca naskah itu, ia jadi semakin tertarik.
Ternyata cerita ini tidak seburuk yang ia pikirkan. Menurutnya cerita itu unik
dan menarik. Selesai membaca naskah itu, ia kemudian mulai mendalami karakter
si Putri salju sendiri. Ternyata tidak mudah mendalami karakter si Putri salju,
apalagi karakter Denia berbanding terbalik dengan karakter yang akan diperankan
nya. “Baiklah gue akan berlatih dulu dirumah” katanya pada diri sendiri.
***
Pentas
seni yang sudah hampir dekat ternyata menjadi perbincangan siswa-siswa di
sekolah Denia saat ini, apalagi pentas yang akan dimainkan oleh Denia, ternyata
sudah tersebar keseluruh kelas.
“Eh,
Ris, lo udah dengar kan kalau anak 3 Ipa 3 mau buat pentas tentang Putri salju”
ujar Nadine salah seorang anak 3 Ipa 1 pada sahabatnya Prisca si putri pujaan
para pangeran di sekolah itu. “Lo salah, yang benar itu Bukan Putri salju”
ralat Prisca dengan nada meremehkan.
“Untung
kita gak jadi pentasin Putri Salju” celetuk temannya yang lain.
“Eh
ya denger-denger yang jadi Putri salju si Denia. Kok bisa ya, tapi cocok sih
tampang dia sama judul ceritanya” Nadine dan Prisca tertawa meremehkan,
teman-teman yang lain pun ikut tertawa seperti mereka. Tapi dari semua murid
kelas itu hanya satu yang tidak tertawa. Satu orang cowok tampan yang dari tadi
mendengarkan perbincangan cewek-cewek dikelasnya itu hanya geleng kepala. Ia
tidak tertarik untuk meremehkan siapapun, yang jelas menurutnya pentas ’Bukan
Putri Salju’ itu pasti akan menarik semua siswa sekolah itu. Lagi pula mereka
juga tidak tahu ceritanya seperti apa kan. Cowok tampan itu lebih memilih untuk
keluar dari kelasnya dari pada kupingnya panas mendengar cewek-cewek dikelasnya
menggosip.
“Yan,
lo mau kemana?” Cristian si cowok tampan tadi yang hendak berjalan keluar
langsung berhenti saat Yuda sahabat karibnya bertanya dengan tiba-tiba saat ia
hendak keluar. “Gue mau ke perpus. Kenapa lo mau ikut?” jawabnya santai
Yuda langsung menggeleng “Gak ah, lo tahu kan gue
paling alergi kalo ke perpus. Tapi kalo lo ajak gue ke cafe sih oke-oke aja”
jawabnya sambil cengengesan.
“Ye
lo tu ya, sekali-kali harus ke perpus,biar otak lo tu nambah ilmu dikit”
katanya lagi dan dibalas oleh Yuda dengan cengirannya yang khas. Setelah
berkata seperti itu, Cristian langsung cabut ke perpus yang berada di lantai
tiga di gedung sekolah itu. Perpustakaan adalah tempat yang paling tepat unutk
menyendiri atau untuk mencari ketenangan, kenapa? Tentu saja karena
perpustakaan adalah tempat yang tenang di mana bila berada didalamnya kita
tidak boleh berisik sama sekali. Nah inilah yang dibutuhkan dua anak manusia
ini yaitu Cristian dan Denia, yang satu butuh mendinginkan kupingnya yang
terasa panas bila mendengar gosip-gosip yang tidak enak dan yang satu lagi
butuh ketenangan agar dapat berkonsentrasi menghapal dialog naskah yang akan
dimainkannya.
Denia
sedang duduk di pojok perpustakaan. Sesekali ia mengacak-acak rambut panjangnya
yang hitam dan halus itu. bibirnya yang tipis berulang kali melapaskan
kata-kata yang ada didalam naskah, namun selalu saja salah. Merasa lelah terus
mengulang hal yang sama, Denia terduduk lemas sambil menatap naskah yang ada di
depan matanya. “Hah! Kenapa dari tadi gue gak bisa-bisa hapal ini dialog sih!
Apa otak gue udah karatan ya, sampai dialog gini aja gue gak bisa hapal” Denia
menggigit ujung bibirnya. Merasa tidak ada gunanya lagi ia latihan sendiri,
Denia menempelkan wajahnya ke atas meja dan memejamkan matanya. Tanpa disadari
gadis itu, sedari tadi ada orang yang menantapnya dengan menahan tawa
dibibirnya.
Bukan
masksud Cristian untuk tertawa ataupun meremehkan gadis itu. Tapi sejak ia
masuk kedalam perpustakaan dan menatap pojok ruangan itu, bibirnya tidak henti
untuk tersenyum menahan tawa. Saat masuk tadi ia sempatkan melihat seluruh
penjuru ruangan bermaksud mencari tempat yang paling tenang dan seketika
matanya berhenti tepat di sudut ruangan itu. Di sana ia melihat seorang gadis
tengah berbicara sendiri dan tingkahnya yang konyol membuat Cristian tersenyum
menahan tawa. Merasa sedikit terhibur Cristian melangkahkan kakinya menuju
pojok ruangan itu. ia berhenti tepat di depan meja gadis yang sepertinya sedang
tidur. Cristian menarik bangku dan duduk dihadapan gadi itu. Tidak ada reaksi,
sepertinya gadis itu belum menyadari kehadirannya. Sesaat matanya tertuju pada
naskah yang masih terbuka lebar di tangan gadis itu. Pelan-pelan ia menarik
naskah itu dan membacanya. “Bukan Putri Salju” gumamnya pelan dan ternyata
suaranya itu membangunkan gadis yang tertidur dihadapannya itu. Denia membuka
matanya saat seseorang bergumam pelan di dekatnya. Ia hapir terlonjak kaget
saat melihat Cristian sudah ada dihadapannya dan sedang memegang naskah
pementasannya. “Cristian!” katanya ragu sambil mengucek-ngucek matanya.
“Oh..Lo
kenal gue?” Tanya Cristian tiba-tiba.
Denia mengangguk “Iya, tapi bukan gue aja kok yang
kenal lo, seluruh siswa di sekolah ini pasti kenal lo. Lo kan terkenal banget”
kata Denia antusias.
“Mm,
berarti lo Denia ya”
Denia melongo saat Cristian menyabut namanya. Apa
dia juga terkenal di sekolah ini ya, kok sampai Cristian tahu namanya.
“Lo
tahu nama gue dari mana?” tanya Denia penasaran. Cristian mengarahkan jarinya
menunjuk kearah naskah yang ada di tangan kirinya “Dari sini” katanya sambil
tersenyum.
“Maksudnya?”
Denia masih belum mengerti.
“Ini,
disini kan tertulis nama lo” tunjuknya lagi. Mata Denia mengikuti kemana arah
jari Cristian dan ia baru sadar kalau tadi menuliskan namanya di sudut kanan
atas naskah itu. “Ah iya..haha” wajah Denia sesaat memerah seperti kepiting
rebus karena malu dan hal itu membuat Cristian kembali menahan senyum.
Dalam
sekejab Denia dan Cristian sudah menjadi teman akrab. Hari berikutnya mereka
kembali bertemu di perpustakaan dan terkadang Cristian membantu Denia menjadi
lawan mainnya agar gadis itu mudah menghapal dialognya. Namun tanpa mereka
sadari, kebersamaan mereka sudah menjadi gosip hangat di setiap kelas dan gosip
itu akhirnya sampai juga di telinga Prisca. Saat mendengar gosip itu cewek satu
ini langsung panas dan mencari tahu sendiri kebenarannya. Dan sekarang cewek
itu sudah berdiri di depan perpustakaan tengah menatap marah kearah pojok
ruangan dimana Denia dan Cristian berada. Merasa emosi cewek itu langsung
membalikkan badannya kembali menuju kelas. Ia sudah merencanakan sesuatu dan
itu akan membuat hidup Denia susah. Hari berikutnya, Denia masuk seperti
biasanya namun ada yang aneh dari tatapan teman-teman sekolahnya saat ia baru
melangkah masuk kedalam gerbang sekolah. Tatapan mereka tidak seperti biasanya,
tatapan mereka seperti benci padanya. Denia yang tidak tahua apa-apa tidak
memusingkan hal itu. “Hei Nia” Asti yang sudah datang duluan merangkul pundak
gadis itu dan berbicara dengan berbisik “Ada yang nyebarin gosip aneh tentang
lo” katanya lagi.
“Gosip
apa?” tanya Denia penasaran. Asti menempelkan bibirnya ke arah kuping Denia dan
berbisik “Katanya lo pake pelet buat deket dengan Cristian”
“Apa!?”
pekik Denia. Wajahnya yang tadi tenang kini hampir merah kerena kesal. Ia
berusaha menenagkan dirinya dengan mengatur napasnya. “Siapa yang nyebari gosip
kayak gitu” tanya Denia marah. Asti yang tadi kaget saat denia berteriak
didekat kupingnya langsung memberikan jawaban “Si Prisca” ujar Asti. Mendengar
nama itu, Denia langsung menaruh tasnya dan berjalan keluar kelas menuju kelas
Ipa 1. Disana ia langsung bertemu dengan Prisca dan di hadapan semua orang
Denia memarahi Prisca yang seenaknya sudah mencemarkan nama baiknya.
Saat
itu Denia menantang Prisca, kalau ia tidak sukses dalam pementasan kali ini
Prisca boleh tidak meminta maaf padanya, tapi jika ia sukses dalam pentas kali
ini, ia ingin Prisca meminta maaf padanya. Kata-kata itu ia ucapkan di depan
Cristian dan teman-teman lainnya.
Di
hari pementasan, Denia benar-benar membuktikan kata-katanya. Ia sukses
memerankan Putri salju yang berbeda dan namanya langsung dikenal oleh seluruh
siswa di sekolah itu. Cristian yang menyaksikan pementasan Denia tersenyum puas
dan bangga pada gadis itu. Sedangkan Prisca merasa kalah oleh gadis yang
berwajah biasa-biasa saja itu dan harus meminta maaf atas segala gosip yang
dibuatnya. Lalu dihari-hari biasa, setiap Denia lewat orang akan berbisik dan
berkata ’Itu Denia si Putri Salju yang optimis’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar