Senin, 18 April 2011

MY FAMILY

      Pagi ini hujan turun deras seakan mewakili hatiku yang sedang bersedih. Aku masih duduk termenung diteras depan. Masih terngiang-ngiang ditelingaku perkataan Bunda Tarsih kepala yayasan panti asuhan tempatku berada “Ingat Vita, jadilah anak yang baik. besok pagi akan datang keluarga yang akan mengadopsi mu”.
      “haah” desahku.
      Sebenarnya aku tidak ingin pergi dari tempat ini. Disinilah aku dibesarkan dari kecil. Aku memang tidak pernah tahu siapa orang tuaku. Apakah mereka masih hidup? Kalau masih dimana mereka saat ini? Kenpa mereka meninggalkanku disini? Ataukah mereka sudah tidak ada lagi didunia ini. Kalau benar dimana mereka dimakamkan? Aku tidak tahu.
      “Vita..Vita…”
Suara Bunda Tarsih menyadarkanku dari lamunan.
      “Ya Bunda. Aku ada disini” jawabku dengan sedikit berteriak.
Terdengar suara langkah kaki yang cukup berat berjalan menghampiriku.
      “Vita, ayo nak ikut Bunda sebentar. Ada yang mau bertemu denganmu”
      “Siapa Bunda” tanyaku dengan kening berkerut.
      “Nanti juga kamu tahu, yuk”
Bunda Tarsih menarik lenganku dengan lembut, mau tidak mau aku harus ikut dengannya menemui orang itu.
      Saat sampai didepan pintu kantor Bunda Tarsih aku langsung menghentikan langkah kaki ku. Bunda Tarsih bingung dengan sikapku saat itu.
      “Kenapa, ayo masuk”
Aku menggeleng tidak mau. “aku disini saja ya Bunda” pintaku dengan wajah memelas.
Melihat wajahku yang sedih Bunda Tarsih pun meng-iyakan dan masuk kedalam sendiri. Dari luar aku bisa mendengar suara seorang wanita yang menurutku sangat lembut ditelingaku sedang berbincang-bincang dengan Bunda Tarsih. Semakin lama aku mendengar suara Wanita itu membuatku semakin penasaran ingin melihatnya.
      Aku beranikan diri untuk mengintipnya dari balik pintu tapi aku tidak dapat melihatnya dengan jelas karena terhalang oleh pintu besar yang ada dihadapanku ini. Walaupun begitu aku bisa menangkap sedikit mengenai wanita itu. Aku bisa melihat wanita itu sangat cantik dan sepertinya juga sangat ramah.
      Aku tersentak kaget saat Bunda Tarsih memanggil namaku.
      “Vita, ayo masuk nak”   
Sesaat aku ragu untuk melangkahkan kaki ku kedalam ruangan itu. Tapi entah kenapa ada sesuatu yang lebih kuat menarikku untuk masuk kedalam. Setelah berada didalam aku bisa melihat dengan jelas Wanita yang sedang duduk itu tersenyum menatapku. Dari tatapan matanya aku bisa merasakan kehangatan seorang ibu.
     “Nah, ini yang namanya Vita, ayo beri salam sama Bu Kasih nak” ujar Bunda Tarsih memperkenalkanku pada wanita itu.
      Aku berjalan mendekatinya dan mencium tangannya. Dia membalas salamku dengan belaian lembut dikepalaku.
      “Nak, kamu mau kan tinggal dengan Ibu?”
Pertanyaan itu membuatku kaget. Aku tidak tahu harus menjawab apa. kupalingkan wajahku kearah Bunda Tarsih. Dari wajah Bunda bisa kulihat kesedihan sekaligus kebahagiaan. Aku tidak mau mengecewakan Bunda.
      “Iya” jawabku sambil mengangguk.
Kulihat lagi wajah Bunda Tarsih, kini Ia tersenyum bahagia melihatku. Hari itu adalah hari terakhir aku berada dipanti asuhan bersama Bunda Tarsih dan teman-temanku yang lain.
***
10 tahun kemudian
      “Ma, aku berangkat dulu ya” aku mencium tangan Mama yang sedang berada didapur.
      “Vita, kamu gak bareng sama Rio dan Lia”
Aku langsung menggeleng “Aku naik angkot aja ma. Lagian kan dekat” jawabku sambil tersenyum.
      “Kok senang banget sih naik angkot. Padahal kamu bisa diantar sama Pak Norman atau gak ikut kakak kamu naik mobilnya”
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Mama dan berjalan keluar rumah. Hah! Benar dirumah memang banyak mobil, benar aku bisa diantar dengan Pak Norman dan benar juga aku bisa pergi bareng Kak Rio dan Lisa. Tapi itu semua tidak mungkin bisa.
      Sepuluh tahun yang lalu aku datang kerumah ini sebagai anak angkat. Aku tidak tahu kenapa Mama mengadopsiku, padahal Mama sudah punya dua orang anak. Saat datang kerumah ini aku sangat berharap bisa mendapatkan banyak kasih sayang dan cinta. Memang Mama sangat sayang padaku tapi berbeda dengan Papa, Kak Rio dan Lia mereka tidak menyukai kehadiranku disini. Karena itulah aku tidak bisa pergi dengan mereka.
      “Hei..ngalamun aja! ntar kesambet loh”
      Aku terkejut. Ini orang ngagetin aja sih.
Dengan malas kutolehkan mukaku. Ternyata Hesti sahabatku. Dasar usil, kerjaannya ngagetin aja.
      “Biarin….daripada lo pagi-pagi kerjaannya ngagetin orang”
      “Ciee..marah nih..baru gitu doang” goda Hesti
      “Siapa juga yang marah..” jawbku dengan wajah cemberut.
      “Memangnya lagi ngelamunin apa sih?”
      “Ada deh….pengen tau aja”
Hesti terus saja menggoda ku sampai angkot yang kami naiki berhenti didepan gerbang sekolah.
      Kumasuki halaman sekolahku. Saat melangkah masuk seulas senyum sudah menyambut kedatanganku dan Hesti. Ya setiap pagi satpam penjaga sekolah ku ini selalu memberikan senyuman yang hangat.
      Pagi itu suasana kelas seperti biasa, berisik seperti dipasar!. Kulihat teman-temanku sibuk pinjam ini itu dengan yang lain. Pasti mereka belum ngerjain Pr bahasa inggris dari Bu Dian deh.
      “Eh Hes, lo udah ngerjain pr bahasa inggris?”
Hesti langsung menjitak jidatnya dan menggeleng “Gila gue lupa sama Pr nya Bu Dian. Gimana nih? Gue nyontek pr lo deh Vit”
Aku langsung geleng-geleng kepala dengan sikap Hesti. Kalo aku gak kasih liat kasian dia nanti di marahin habis-habisan didepan kelas. Terpaksa kali ini aku harus menolongnya.
      “Tapi cuma kali ini aja lo gue kasih pinjem”
Hesti mengangguk dan langsung menyalin tulisan yang ada dibukuku kedalam bukunya.
      Bel pulang berbunyi. Aku menghela nafas panjang. Seharian ini suasana dikelas membosankan. Apalagi tadi ulangan Bahasa Inggris mendadak. Tambah mumet otakku.
      “Pulang yuk Vit” ajak Hesti
Aku mengangguk, lalu menjejeri langkahnya meninggalkan kelas. Saat sampai dihalaman sekolah, aku melihat Lisa dijemput oleh Kak Rio.
      “Vit, itu Kaka sama adek lo. Gue heran kenapa lo gak pulang bareng mereka aja sih?”
Aku menghela nafas dan tersenyum “Gak kenapa-kenapa kok. Gue lebih suka naik angkot” jawabku bohong.
Aku dan Hesti duduk di halte menunggu angkot yang datang.
***
      “Kak, hari ini bisa tolong antarin aku gak ke ultahnya Risa?” pintaku sambil memelas.
      “Kakak gak bisa. Hari ini Lisa mau liat pameran lukisan, jadi kakak harus nemenin Lisa”
Aku sedih mendengar jawaban yang Kak Rio berikan. Lisa..lisa..lisa terus, memangnya adik Kak Rio itu cuma Lisa ya..Huh! gerutuku dalam hati dan pergi meninggalkan Kak Rio.
      “Ma, Pa..aku pergi dulu ya ke ultahnya Risa” pamitku pada Papa dan Mama yang asik nonton televisi.
      “Pergi sama siapa Nak?” tanya Mama
      “Sendiri Ma, naik angkot” jawabku sambil melirik kearah Papa yang memang tidak pernah peduli padaku.
      “Yaudah, kalo gitu hati-hati ya”
Aku mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan rumah.
      Suasana rumah Risa hari itu sangat ramai, ya jelas aja ramai Risa kan punya banyak teman disekolah ataupun dirumah. Aku duduk termenung di sudut taman. Kulihat Hesti sibuk mondar-mandir mengambil makanan yang disajikan.
      “Hei Vit, lo gak makan?” tanya Hesti yang telah duduk disampingku.
Aku menggeleng “Gue gak laper”
      “Wah rugi loh kalau lo gak nyoba makanannya. Ini enak loh” jawab Hesti sambil menunjukkan berbagai kue yang sudah diambilnya. Melihat kue-kue itu aja aku gak berselera. Hah!
      “Hesti, gue pulang sekarang ya”
Hesti langsung menghentikan makannya dan menatapku heran  “Loh kok gitu?”
      “Gue lagi males aja hari ini. Nih kado gue titip ke lo ya, jangan lupa dikasih ke Risa” ujarku.
      “Lo yakin mau pulang sendiri. Apa mau gue temenin”
Aku tersenyum dan menggeleng “Gak usah. Gue gak apa-apa kok”.
      Wajah Hesti tampak khawatir, namun sedetik kemudian wajah itu kembali ceria.
      “Ya udah kalau mau lo gitu. Hati-hati ya”
Aku mengangguk dan kemudian berlari meninggalkan keramaian rumah Risa.
      Sore hari jalanan dirumah Risa cukup sepi bahkan lebih tepatnya hening. Aku berdiri dibawah salah satu pohon mangga yang ada dipinggir jalan. Angkot yang ditunggu belum juga datang. Eh sekalinya datang udah hampir penuh tapi gak apalah yang penting bisa pulang.
      Angkot yang aku naiki melaju dengan kencang, meliuk-liuk dikeramaian jalan. Semua orang yang melihat geleng-geleng kepala bahkan ada yang sampai memaki-maki. Semua penumpang yang ada didalam mobil juga ikut-ikutan marah, bahkan ada ibu-ibu yang menasehati agar jangan ngebut dijalan. Tapi walaupun begitu angkot yang aku naiki ini tetap melaju dengan cepat. Saking cepatnya sampai-sampai ada sebuah truk yang akan berbelok dan mobil yang aku naiki tidak bisa berhenti, akhirnya kecelakaan itu tidak bisa dihindari lagi dan terjadilah tabrakan itu.
      Saat itu tubuhku terhempas kebelakang dan mengenai kaca yang pecah. Aku merasa tubuhku sangat sakit dan samar-samar mendengar suara orang-orang berkerumun namun saat itu pandanganku semakin gelap..gelap..dan gelap.
***
      “Apa?!” suara Bu Kasih memecahkan keheningan. Dari mata indahnya menetes sebutir air bening..Ia menangis. Pak Sofyan suaminya yang saat itu ada disana melihatnya dengan perasaan bingung karena saat itu istrinya menangis. Ia kemudian berjalan mendekati istrinya dan masih dilihatnya mata indah itu masih mengeluarkan air mata.
      “Pa, Vita…vita” ujarnya lirih
      “Hah, anak itu lagi. Apalagi sekarang ulahnya” ucap Pak Sofyan sinis
      “Vita kecelakaan Pa” ujar Bu Kasih dengan suara bergetar.
Mendengar hal itu Pak Sofyan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Melihatnya Bu Kasih menjadi marah.
      “Apa Papa gak punya hati. Ingat Pa, Vita itu anak kandung Papa”
      “Praaanggg..” terdengar suara gelas pecah.
Bu Kasih dan Pak Sofyan kaget saat mendengar itu. Mereka langsung melihat kearah sumber suara dan disana telah berdiri Rio dan Lisa yang tertegun tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
      “Jadi…Vita itu adik kandung Rio Pa. Benar Pa?” tanya Rio. Pak Sofyan hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan anaknya itu.
      “Pa, tolong jawab pertanyaan Rio ini Pa. Ma, tolong jawab ma” kini matanya beralih kearah Mamanya.
Bu Kasih menghela nafas dan mulai berkata “Iya Rio, Vita itu adik kandung kamu dan kakak kandung kamu Lisa” ujar Bu Kasih sambil menatap Rio dan Lisa.
      “Tapi..tapi itu kan gak mungkin Ma.” ucap Lisa tak percaya. Bu Kasih akhirnya harus menceritakan semua rahasia yang selama ini disimpannya sendiri. Rio menatap marah kepada Papanya.
      “Lalu sekarang Vita ada dimana Ma?” tanya Rio
      “Vita ada dirumah sakit. Sekarang Mama mau kesana, kalian mau ikut?”
Rio dan Lisa mengagguk berbarengan. Mereka mengikuti Bu Kasih dari belakang.
Pak Sofyan masih duduk termenung diruangan itu. Kesunyian membawanya ke masa lalu. Ya Vita adalah anak kedua dari istrinya yang telah meninggal karena itu Ia sangat membenci Vita. Sangat lama Ia duduk termenung mengenang masa lalu sampai Ia teringat kembali janjinya pada Anisa istri yang sangat dicintainya namun telah pergi kepangkuan Tuhan “Pa, kalau anak kita lahir dan Mama gak bisa nemenin Papa lagi..Papa mau kan menjaga anak-anak kita, memberikan mereka banyak cinta dan kasih sayang” kata-kata itu terus bergema diruangan sunyi itu. Benar saat itu Ia sudah berjanji untuk menyayangi dan mencintai anak-anaknya walau istrinya tidak ada didunia ini lagi, tapi kenyataannya Ia telah mengingkari janjinya pada Anisa. Setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya yang sayu. Ia menangis, menyesal karena telah mengingkari janjinya pada Anisa, menyesal karena telah membuang anak perempuan satu-satunya yang diberikan Anisa. Hari ini Ia benar-benar menyesal.
      Dokter-dokter terus keluar masuk ruang itu, ruangan dimana Vita kini terbaring tak berdaya, ruangan dimana Vita harus berjuang untuk hidup.
      “Dokter, bagaimana keadaan anak saya” tanya Bu Kasih
      “Saat ini kondisi pasien sangat kritis, dia mengalami luka yang cukup parah. Kaca menancap sangat dalam pada punggunngya, kami harus berhari-hati untuk mengeluarkannya dan lagi pasien juga kekurangan banyak darah. Saya minta Ibu berdoa saja agar operasi ini berjalan lancar”. Mendengar penjelasan dokter air mata Bu Kasih kembali mengalir. Ia seakan tak sanggup lagi berdiri hingga Lisa harus memeganginya. Sedangkan Rio merasa sangat bersalah, kenapa Ia tidak mau mengantar adiknya itu tadi, Ia sangat membenci dirinya saat ini.  Operasi yang dilakukan memakan waktu sekitar tiga jam. Bu Kasih, Rio dan Lisa masih menunggu diluar tanpa beranjak sedikitpun. saat sedang menunggu, mereka tidak menyangka kalau Pak Sofyan sudah berada disana.
      “Papa!” ucap Rio kaget . Pak Sofyan berjalan mendekati keluarganya.
      “Nak, maaf kan Papa karena tidak memberitahu kamu yang sebenarnya. Papa menyesal” ujar Pak Sofyan sambil menangis. Bu Kasih yang melihat berjalan menghampiri suaminya dan memeluk suaminya. Ia tahu saat ini suaminya benar-benar telah menyesali semua perbuatannya.
     Pak Sofyan melepaskan pelukannya dan menghapus sisa air matanya “Bagaimana keadaan Vita Ma?” tanya Pak Sofyan. Bu Kasih hanya menggeleng tidak tahu, karena dokter masih belum memberitahukannya keadaan putrinya itu. Ketika mereka duduk termenung diruangan Rumah Sakit itu tiba-tiba seorang dokter keluar dan memberitahukan mereka bahwa operasinya berjalan lancer dan pasien akan dipindahkan keruangan pemulihan. Sudah hampir tiga hari Vita tidak sadarkan diri. Pak Sofyan, Bu Kasih, Rio dan Lisa bergantian menjaganya.
      Saat itu malam hari, sinar lampu rumah sakit menyilaukan mataku. Aku buka perlahan demi perlahan mataku dan mulai mengerjap-ngerjapkannya. Seluruh tubuhku terasa sakit. Kulihat disamping ku sedang tertidur seseorang, kugerakkan tanganku dan membuat orang itu terbangun. Orang itu bangun dan kalian tahu siapa dia…Ya dia Papa.
      “Akhirnya kamu bangun juga Nak” ujarnya sambil mencium keningku. Aku masih belum mengerti kenapa Papa berubah tapi itu membuat ku bahagia, sedetik kemudian kulihat Mama, Kak Rio dan Lisa masuk keruangan itu dan tersenyum padaku. Aku tidak tahu kenapa tapi kecelakaan itu membuatku hidup kembali dan mendapakkan sebuah keluarga. Ya mereka adalah keluargaku yang akan selalu menyayangiku selamanya. They is my Family.