Senin, 07 November 2011

Cerpen - SAHABAT KECIL NAILA

“ Siang Rey..” sapa Naila, Ia melemparkan tasnya ke sofa dan berjalan kearahku. Ia mulai memelukku hangat, membelai kepalaku dengan lembut dan mengajakku duduk di sofa. Hari ini aku melihat lagi wajah lusuhnya yang seperti penuh dengan kesedihan.
            “Rey, kau tahu hari ini aku dilukai lagi..” Naila menatapku dengan mata penuh luka dan berkaca-kaca. Naila mulai menitikkan air mata dan air mata itu jatuh tepat diatas kepalaku. Aku tahu siapa orang yang sudah membuat Naila menangis. Ya, pasti Robi, cowok yang sudah hampir dua bulan ini menjadi kekasih Naila. Aku pernah bertemu dengan cowok itu satu kali, itupun saat Naila berulangtahun. Cowok itu memang terlihat keren tapi aku tidak suka dengan sikapnya yang sok cool dan selalu tebar pesona.
            “Hari ini aku lihat dia dengan seorang perempuan...”ujar Naila lagi masih dengan terisak-isak. Ini untuk kedua kalinya Naila terluka oleh laki-laki. Aku hanya bisa menatap sedih mata Naila, aku dekatkan lagi tubuhku padanya dan memberikannya kehangatan. Sesekali aku juga mengelus tangannya yang lembut. Sudah sangat lama aku tidak melihat Naila menangis.
            Ya, sangat lama. Dulu saat aku masih baru bertemu dengannya. Saat itu pertama kalinya aku menatap mata Naila, mata yang menyiratkan kelembutan. Hujan sangat deras saat aku bertemu dengan Naila. Gadis itu berjalan kearahku dengan tergesa-gesa dan kemudian Ia membawaku pulang dan tinggal bersamanya. Hari-hari yang aku lalui bersama Naila sangatlah menyenangkan sampai suatu ketika aku melihat mata indah itu menangis. Naila selalu bercerita kepadaku mengapa dia menangis.
Malam itu Ia bercerita bahwa Ia telah dicampakkan begitu saja oleh kekasih yang selalu mengisi hari-harinya. Ia menangis terisak-isak sangat lama. Sampai mata indah itu terlihat bengkak. Begitu sakitkah hatinya?!. Begitu berhargakah laki-laki itu?!. Entahlah, aku tidak bisa merasakan hal itu. Dan kini, mata indah itu kembali menangis.
            “Kau tahu Rey, perempuan itu adalah sahabatku sendiri..” isaknya lagi, “ aku tidak akan begitu terluka jika perempuan itu adalah orang lain, tapi kenyataannya dia adalah sahabatku sendiri, sahabat yang selalu aku percaya, Rey” ujarnya dan kini sudah mulai sedikit tenang.
Aku begitu terkejut saat Naila mengatakan bahwa perempuan itu adalah sahabatnya sendiri. Aku juga mengenal siapa sahabat Naila itu. Dia sering datang kerumah ini dan terkadang dia juga memberikanku makanan. Ternyata kebaikannya selama ini hanya untuk menutup kebusukannya.
Aku begitu sedih melihat Naila. Ia begitu baik pada siapapun tapi kenapa Ia harus mengalami hal seperti ini. Kini hanya aku yang dapat Ia percaya, hanya aku.
“Rey, kenapa cinta begitu menyakitkan? Tidak bisakah setia hanya pada satu wanita? Apa itu sulit?” ujar Naila pelan.
            Entahlah…aku juga tidak tahu jawabannya.
            Naila tertidur disofa itu. Sesekali air mata keluar dari matanya yang sedang tertutup. Aku menatap Naila yang sedang tidur. Sepertinya Ia begitu lelah, lelah jiwa dan raganya.
***
            “Pagi Rey…” sapa Naila semangat. Aku masih meringkuk di tempat tidurku. Pagi yang dingin, tapi ada yang berbeda pagi ini. Kulihat Naila begitu ceria dan sepertinya dia sudah melupakan kesedihannya beberapa hari yang lalu.
            “Ayo Rey..jangan tidur terus. Ayo kesini temani aku lari pagi” ujar Naila lagi sambil menatap kearahku. Aku bangkit dari tidurku dan sedikit merenggangkan tubuh, lalu aku berlari kecil kearah Naila. Udara pagi membuat seluruh buluku berdiri, jalanan juga masih terlihat sepi tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang sehingga udara yang dihirup tidak berpolusi. Aku masih mengikuti Naila dari belakang. Kini wajah Naila terlihat begitu segar seakan-akan tidak pernah menghadapi masalah apapun.
            “Rey, besok aku akan pergi keluar kota untuk meneliti tugas skripsiku..kau akan dijaga dengan baik oleh Mama” ujar Naila sambil berlari-lari kecil. Aku langsung mendongakkan kepalaku menatap Naila. Aku tahu Naila tidak mungkin membawaku bersamanya. Tidak mungkin kan menjaga seekor kucing saat sedang melakukan penelitian. Aku menatap Naila dengan mata yang terlihat sedih. Naila berhenti berlari dan berjongkok serta menatapku. “Rey, kau adalah sahabat yang paling aku sayangi. Tapi kali ini aku tidak bisa membawamu. Maafkan aku ya!” ucap Naila tulus.
            Aku hanya mendekatkan kepalaku kearah tangannya sebagai jawaban, Naila mengelus kepalaku dengan lembut. Dinginnya tangan Naila bisa kurasakan, setidaknya dengan membelai buluku bisa memberikan kehangatan pada tangan Naila yang dingin karena udara pagi.
            Hari ini Naila selalu bermain bersamaku. Mengajakku jalan-jalan, membelikan aku makanan dan juga memeluk tubuhku yang kecil. Inilah yang selalu Naila lakukan jika Ia harus meninggalkan aku cukup lama. Aku bisa merasakan ketulusan yang Naila berikan untukku. Aku pasti akan sangat merindukan Naila.
                                                                     ***
            Sudah hampir dua minggu Naila pergi. Aku merasa sangat sepi tanpa Naila. Aku duduk termenung diatas bangku yang terdapat di teras depan menanti kedatangan Naila. Setiap hari aku selalu duduk disana. Hari ini pun aku juga duduk disana. Menatap langit mendung , menanti kepulangan Naila. Hujan turun sedikit demi sedikit dan membasahi halaman rumah. Angina berhembus meniupkan aroma tanah yang basah. Aku masih duduk disana, memandangi hujan. Terlintas lagi olehku kenangan saat Naila menemukannku.
            Aku yang masih kecil telah ditelantarkan dan dipisahkan dari Ibuku. Mereka tidak menginginkanku dan hanya memelihara Ibuku. Malam itu saat aku sedang tertidur disamping Ibu ku, seseorang yang kukenal yaitu pemilik Ibu dan aku dulu berjalan pelan-pelan kearahku. Dia mengendong tubuhku yang masih kecil dan memasukkan ku kedalam sebuah kardus kosong. Aku yang saat itu masih sangat kecil tidak bisa melawannya. Dia membawaku keluar rumah dan meninggalkanku dijalanan yang sepi. Aku terus berusaha untuk keluar. Ku coba memanjat sisi lain kardus yang terbuka, namun tetap tidak bisa ku gapai. Lama sekali aku terus berusaha untuk keluar dari kardus itu, sampai tenagaku terkuras dan aku hanya bisa meringkuk didalam kardus kosong, gelap dan juga dingin itu. Semakin lama aku merasa semakin dingin, sampai ada seseorang gadis yang berteduh disamping kardus tempatku berada. Aku berusaha bergerak agar gadis itu menyadari kehadiranku dan benar, dia langsung berjongkok dan membuka kardus itu. Saat itulah aku melihat Naila. Ia tersenyum padaku, mengangkat tubuh kecilku yang kedingan dan memelukku, memberikanku kehangatan tubuhnya.
            “Teman kecil yang malang, kau pasti sangat kedinginan” ucap Naila kecil dan langsung menggendongku. Saat itu aku merasa sangat tenang berada di pelukan Naila. Naila telah menolongku dan memberikanku kasih sayangnya selama ini, karena itulah aku akan selalu menanti Naila kembali dan memelukku lagi.
***
            Hari ini Naila menelpon. Dia menanyakan kabarku, apa aku diberi makan dengan benar? Apa aku selalu dibersihkan? Apa aku sakit dan masih banyak lagi. Aku sangat senang mendengar Naila mengkhawatirkan ku, Naila tidak lupa padaku. Naila juga minta maaf karena baru sempat menelpon dan juga belum bisa kembali kerumah. Tapi bagiku itu tidak apa-apa asalkan Naila tidak melupakan diriku bagiku itu sudah cukup.
            Oh iya, kalian tahu Naila mengatakan akan kembali dalam beberapa hari lagi. Aku tidak sabar menanti hari itu. Aku rindu mendengar suara Naila memanggil namaku. Aku rindu ingin melihat senyum Naila.
            Aku selalu makan tepat waktu, buluku juga selalu dibersihkan. Aku tidak ingin Naila melihat ku kurus, sakit dan tidak terurus. Mama selalu merawatku dengan baik dan Raihan adik kecil Naila selalu mengajakku bermain bersamanya.
            Dua hari telah berlalu semenjak Naila menelpon. Besok Naila akan kemabali kerumah. Naila juga berjanji membelikanku hadiah. Aku tidak sabar ingin mengetahui hadiah apa yang Naila berikan untukku.
            Pagi berganti siang dan siang berganti malam. Aku mencoba untuk tertidur, namun tidak bisa. Mataku tidak mau terpejam. Dipikiranku hanya terbayang wajah Naila yang bahagia. Aku rindu padanya..sangat merindukannya. Aku bangkit dari tempatku dan berjalan menuju jendela yang terbuka. Aku duduk ditepi jendela. Angina malam berhembus pelan mengibaskan buluku yang sudah cukup panjang.
            Lama kupandangi langit yang gelap sampai berubah menjadi jingga dan kemudian berubah menjadi biru. Aku turun dari jendela itu dan berlari keluar rumah. Aku kembali duduk diteras rumah menanti kepulangan Naila. Aku ingin menjadi yang pertama menyambut kedatangan Naila. Aku begitu bersemangat menunggu Naila dengan sabar, tanpa aku sadari waktu terus bejalan. Matahari bergerak perlahan demi perlahan. Langit mulai merubah warnanya yang tadi berwarna biru kini telah berubah berwarna kuning keemasan. Sorepun telah tiba namun aku belum melihat Naila. Seluruh keluarga selalu menelpon dimana Naila sekarang namun belum satu tepon pun yang diangkat Naila. Mama dan Raihan kini duduk bersamaku dibangku yang ada diteras depan, sedangkan Papa terus mencoba menghubungi ponsel Naila. Masih sama, Naila belum mengangkat teleponnya. Merasa gagal menghubungi putri tersayangnya. Papa kembali duduk disamping Mama.
            Tak lama setelah itu, ponsel Papa berdering. Dilihatnya layar ponsel itu, disana tertulis Naila. Papa begitu senang saat melihat nama anaknya dilayar ponselnya. Cepat-cepat diangkatnya ponsel itu. Tak lama mengangkat telepon itu, raut wajah Papa yang tadinya ceria berubah menjadi begitu pucat. Seketika airmatanya mengalir. Melihat suaminya menangis Mama langsung berdiri dan bertanya.
            “Ada apa Pa? siapa yang nelpon?” ujar Mama dengan nada cemas.
            “Putri kita ma..Naila mengalami kecelakaan!”
            Mama yang berdiri di samping papa langsung terduduk kembali. Ia tidak percaya putri satu-satunya kini mengalami kecelakaan. Aku yang masih duduk di pangkuan Raihan juga merasa tidak percaya bahwa Naila mengalami kecelakaan.
            Papa dan Mama langsung pergi kerumah sakit diamana Naila dirawat. Dokter mengatakan bahwa naila mengalami benturan keras dikepalanya dan sebagian tulang kakinya juga mengalami kerusakan. Saat ini Naila masih mengalami koma.
            Setiap hari Papa dan Mama selalu menjenguk naila dan terkadang Raihan juga ikut bersama mereka. Aku juga ingin menjenguk Naila, namun aku tidak bisa kesana. Buluku akan menyebarkan virus bagi mereka yang sedang sakit. Jadi aku hanya bisa menunggu dirumah. Menunggu Naila kembali dengan senyumnya. Hari terus berlalu, bulan pun telah berganti. Papa dan Mama memutuskan untuk merawat Naila dirumah karena Papa sudah tidak sanggup membayar biaya rumah sakit yang cukup mahal.
            Aku melihat Naila tertidur lama sekali. Mata itu tidak pernah terbuka. Tangan itu tidak pernah membelaiku lagi, bibir itu tidak lagi tersenyum padaku. Namun walaupun begitu aku masih bisa merasakan kehangatan tangan Naila. Setiap hari aku selalu menemani Naila yang terbaring tanpa bergerak sama sekali. Sesekali aku meletakkan kepalaku ditangannya agar Ia bisa merasakan hangat dan lembutnya buluku. Kulihat alat-alat medis yang ada disamping Naila bergerak naik turun saat tangan Naila menyentuhku.
            Setiap pagi aku selalu masuk kekamar Naila, menyapanya. Sama seperti Naila yang selalu menyapaku setiap pagi. Terkadang aku duduk diatas kaki Naila dan terkadang aku berjalan-jalan disekeliling ruangan itu. Aku ingin Naila bangun dan menyadari kehadiranku. Sampai suatu pagi, aku dengan tergesa-gesa berlari kekamar Naila dan naik keatas tempat tidurnya. Kudekatkan tubuhku ketangannya dan tiba-tiba tangan itu bergerak. Aku kaget dan juga senang melihat itu. Perlahan demi perlahan kulihat mata Naila terbuka. Kini mata memandangku. Kulihat tatapannya yang kosong, seakan dia belum sadar sepenuhnya, namun lama kelamaan wajah itu tersenyum hangat. Naila telah kembali, aku melompat kearahnya dan Ia memelukku dengan lembut, seperti biasanya. Setelah terlepas dari pelukan Naila aku berlari keluar memanggil seluruh keluarga yang masih berada di meja makan. Awalnya mereka pikir aku ingin makan lagi, namun karena aku masih tidak memakan makanan yang mereka berikan akhirnya mereka mau mendengarkanku. Aku terus mengeong, dan menarik celana Papa agar mengikutiku. Papa, Mama dan Raihan pun akhirnya mengikutiku. Mereka terus berjalan mengikutiku kekamar Naila.
            Saat itu Mama sangat terkejut karena Naila sudah duduk dari posisinya yang semula tidur. Mama langsung memeluk Naila, begitu juga dengan Papa dan Raihan, mereka juga melakukan hal yang sama.
            Kini aku akan selalu menemani hari-hari Naila. Ia berusaha untuk bisa sembuh total dan terus menjalankan terapi. Sesekali Naila bermain bersamaku dan terkadang dia memelukku dan mengatakan “Rey kau adalah sahabat kecilku yang sangat aku sayangi”.
            Benar, aku adalah sahabat kecil Naila, dan selamanya akan selalu menjadi sahabat kecil Naila yang setia.