Kamis, 19 Januari 2012

MENDUNG TAK SELAMANYA HUJAN


 Mengapa langit berwarna biru
Menngapa awan selalu menghiasi langit
Mengapa langit memilki berbagai macam warna…
Terkadang biru…
Terkadang juga bisa berubah berwarna jingga..
Tapi dalam sekejap langit juga menampakkan kesedihan dengan warnanya yang kelabu…
            Saat ini gadis itu sedang duduk disebuah bangku yang terdapat di pinggir jalan. Ia duduk disana untuk menghilangkan penat yang terasa diseluruh tubuhnya. Ia sandarkan punggungnya kebelakang dan wajahnya menatap keatas. Pagi itu udara cukup dingin, daun-daun basah oleh embun pagi, burung-burung berkicau menyambut datangnya sang mentari pagi. Gadis itu memejamkan matanya sebentar dan kemudian membukanya lagi. Kali ini bola matanya yang bulat dan juga bersih itu tengah menatap langit yang masih sedikit gelap. Ia masih terus menatap langit,  entah apa yang sedang dipikirkannya. Disampingnya terletak dua buah tas yang cukup besar.
            “Ahh..hari ini kemana lagi?” ujarnya pelan dan khusus untuk dirinya sendiri. Matanya mulai memandang kesekeliling tempat itu. Sebuah kota yang begitu ingin Ia lihat, tapi setelah Ia melihatnya bukan keindahan yang tampak melainkan hiruk pikuk kota yang terlihat. Dan kini Ia terlantar, tidak tahu harus kemana di Ibu kota negaranya ini. Hari demi hari Ia lalui dengan susah payah, tidur disembarang tempat dan terkadang tidak makan sama sekali. Matahari mulai bersinar dengan terang, langit yang tadinya gelap berubah warnanya menjadi biru terang, sesekali awan putih berarak menghiasi langit biru itu. Gadis itu masih duduk disana, kini wajahnya terlihat karena disinari matahari, wajah itu tidak terlalu kurus tapi juga tidak gemuk, saat ini wajah gadis itu terlihat kotor. Sudah tiga hari Ia belum membersihkan diri, baju yang Ia kenakan pun sudah basah oleh keringat. Ia kemudian bangkit dari duduknya dan sedikt menggerakkan tubuhnya. Selesai melakukan olah raga kecil itu kini Ia kembali berjalan menyusuri jalan raya yang akan membawanya entah kemana. Dalam pikirannya kini hanya ada satu Ia ingin mandi. Benar kali ini Ia ingin membersihkan dirinya dan mengganti pakaiannya. Dalam perjalanan matanya tetap awas memandang kekiri dan kekanan, berharap dapat menemukan WC umum atau bisa saja Ia menemukan mushola.
            Lama Ia berjalan dan beruntung sekali di ujung jalan terdapat sebuah masjid kecil yang cukup bersih. Ia langsung mempercepat langkah kakinya menuju masjid itu. Disana Ia mulai membersihkan dirinya dan mengganti pakaiannya. Ia juga tidak lupa untuk melaksanakan sholat sunah di masjid itu. Matahari terus berarak ke barat, jam sudah menunjukkan pukul 11.00, Syakila nama gadis itu, terus termenung didalam masjid. Otaknya mulai berpikir Ia harus mencari sebuah tempat tinggal dan juga pekerjaan.  Selesai membersihkan diri dan beristirahat sebentar, gadis yang kini tengah beranjak remaja itu melanjutkan lagi perjalanannya. Ia kini berjalan menyusuri kampong-kampung, berharap dapat menemukan sebuah tempat tinggal kecil yang bisa Ia sewa dengan uang yang kini Ia miliki. Banyak rumah yang telah Ia lewati namun tidak ada satupun yang dapat Ia sewa karena harga sewanya yang cukup mahal. Lelah kakinya melangkah, Ia putuskan untuk duduk disebuah warung kecil yang ada di pinggir jalan. Disana Ia melihat dua orang gadis yang lebih kecil darinya sedang mengamen dengan menyanyikan sebuah lagu yang kini sangat popular dikalangan anak muda. Terlintas dibenaknya untuk melakukan hal yang sama seperti dua gadis kecil itu, namun hal itu langsung ditepisnya. Bisa saja Ia melakukan hal itu tapi seperti yang Ia ketahui dari orang-orang dan juga berita di televisi bahwa kehidupan anak jalanan itu sangatlah susah, mereka harus berjuang untuk mencari makan dan terkadang mereka bisa juga terjerumus kedalam perbuatan-perbuatan dosa. Dilihatnya lagi dua gadis kecil itu dan kini mereka sudah ada dihadapannya untuk meminta sebagian rejeki mereka. Syakila merogoh sakunya bajunya yang cukup sempit itu dan beruntung sekali didalam sana Ia menemukan uang seribu rupiah, tak lama setelah itu Ia memberikan uang itu kepada dua orang gadis kecil yang masih setia berdiri dihadapannya. “Ini..”ujarnya dambil memberikan uang tersebut dan juga sedikit tersenyum. “Terimakasih Kak” ujar salah satu dari gadi kecil itu dan kemudian mereka berlalu pergi. Kini Syakila kembali merenungi hidupnya, tak lama Ia kembali berdiri dan kembali melangkahkan kakinya. Ditengah perjalannannya, dari kejauhan Ia melihat dua gadis kecil tadi sedang bertengkar dengan seorang pemuda yang berpakaian seperti preman. Pemuda itu merampas uang yang ada ditangan gadis kecil itu dan gadis kecil it uterus berteriak meminta uangnya dikembalikan. Melihat hal itu Syakila benar-benar merasa marah, Ia melangkah dengan cepat kearah preman tersebut dan dengan cepat Ia sudah merebut uang yang tadi diambil oleh preman itu.
            Orang itu begitu terkejut saat seseorang sudah merampas apa yang ada ditangannya. Preman itu jadi begitu marah dan mulai menyerang Syakila, namun hanya dengan sekali tendang saja Preman itu sudah terjatuh. Untunglah dulu Syakila pernah belajar beladiri dan ternyata hal itu sangat berguna disaat seperti ini. Pemuda yang bertampang menakutkan itu langsung lari namun tidak mau mengakui kekalahannya dan masih sempat mengancam Syakila.
            “Gue akan buat perhitungan dengan lo..” preman itu mengancam Syakila dan langsung pergi dari tempat itu. Kedua gadis itu langsung berlari menghampiri Syakila.
            “Kak..terimakasih ya” ucap gadis yang berkepang dua. Syakila hanya tersenyum dan mengembalikan uang yang ada ditangannya. “Nama Kakak siapa? Aku Rara dan ini adikku Evi” gadis berkepang dua itu memperkenalkan dirinya.
            “Nama Kakak Syakila dan sebaiknya kalian pulang kerumah, disini sangat berbahaya” ucap Syakila.
            “Kami memang akan pulang dan sepertinya Kakak sedang mencari tempat tinggal” Rara meilhat kearah tas yang dibawa oleh Syakila. “Kakak bisa tinggal bersama kami, benarkan Vi” ujarnya lagi dan melihat kearah adiknya, lalu mereka berdua mengangguk. “Benarkah? Apa orang tua kalian tidak akan marah?” Syakila menatap kedua gadis kecil itu dengan pandangan penuh tanya. Evi menggeleng dan mulai menanggis sedangkan Rara menundukkan wajahnya menatap tanah.
            “Mereka tidak akan marah…”ujar Rara pelan “Karena mereka tidak ada dirumah. Mereka pergi meninggalkan kami sendirian dirumah” ujarnya lagi dan mulai menanggis.
            Mendengar hal itu Syakila jadi merasa bersalah karena sudah bertanya. Ia mulai memeluk kedua gadis kecil itu dan mencoba menenangkan mereka. “Jangan menanggis lagi, mulai sekarang Kakak yang akan menjaga kalian berdua, jadi jangan menanggis lagi” ucap Syakila. Hari ini Ia telah menemukan sebuah rumah dan juga dua orang adik untuk Ia jaga dengan baik. Syakila berjalan dengan mengandeng kedua gadis kecil itu, mereka terlihat seperti Kakak dan adik yang sesungguhnya.
***
            Udara masih sangat dingin saat Syakila keluar dari rumah kecil itu yang kini menjadi rumahnya. Hari ini Ia harus berusaha mencari pekerjaan agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk kedua gadis kecil yang kini telah menjadi adiknya itu. Semalam Ia telah berjanji akan memasukkan Rara dan Evi kesekolah dasar. Karena itulah kini Ia harus mencari uang untuk mereka. Kedua gadis kecil itu masih tertidur dengan pulas saat Syakila keluar, Ia juga sudah menyiapkan sarapan untuk adik-adiknya itu. Kini Ia mulai melangkahkan kakinya menyusuri jalan jalan kecil dan sederetan rumah yang ada disana. Syakila mulai mencari tempat-tempat yang akan Ia datangi untuk mencari pekerjaan. Tapi hampir semua toko dikawasan itu masih belum buka, hanya satu tempat yang Ia lihat sudah terbuka. Sebuah tempat yang menjual berbagai macam Koran. Ia beranikan diri untuk masuk ketempat itu dan beruntung sekali Karena pemilik tempat itu begitu ramah. Hari itu juga Ia sudah bisa bekerja disana. Ia bertugas menjual Koran-koran itu dijalan.
            “Koran…koran pak..koran..koran” Ia terus menyusuri jalan raya dan sesekali naik keatas metromini yang sedang berhenti. Hari semakin siang dan setengah dari Koran yang di jualnya telah habis dibeli oleh penumpang dan juga pengendara mobil dan motor yang ada dijalan itu. Kini Ia berjalan kembali ke tempat dimana Ia mengambil Koran-koran tersebut. Setelah mengembalikan Koran-koran yang tidak terjual Syakila menerima uang yang tidak terlalu banyak dari pemilik toko itu. Walaupun tidak banyak tapi baginya uang itu cukup untuk Ia dan juga kedua adiknya.
            Syakila berjalan dengan ringan menuju gang rumahnya kini. Tadi sebelum pulang Ia sempatkan untuk pergi ke warung makan dan membeli tiga bungkus nasi plus lauk pauknya. Ia sangat yakin pasti Rara dan Evi sangat senang dengan apa yang Ia bawa kini.
Syakila berjalan dengan tenang melewati rumah dan warung yang ada di kawasan kampung melayu itu. Kakinya terhenti ketika seseorang menyapanya ramah.
            “Baru pulang Syakila?” tanya seorang wanita tua pemilik warung kopi yang ada disana. Syakila merasa kaget saat wanita itu menyapanya. Ia baru satu hari berada dikawasan tersebut dan ternyata kini sudah ada orang yang mengenalnya.
            Syakila berusaha untuk tersenyum dan menjawab pertanyaan itu “Iya Bu,tapi kalau saya boleh tahu, Ibu ini siapa ya dan kenapa bisa tahu nama saya?” tanya syakila panjang lebar. Mpok Imah biasanya orang-orng memanggilnya hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu “Saya Imah, yah biasanya orang-orang disini manggil saya Mpok Imah. Tadi Rara sama Evi cerita katanya mereka sekarang punya kakak, cantik lagi dan mereka juga memberitahukan saya nama kamu”
           “Oh, jadi Rara sama Evi yang ngasih tahu mpok Imah nama saya” Syakila menganggukkan kepalanya tanda mengerti. “Kalau begitu saya pulang dulu ya Mpok, kasian Rara sama Evi nungguin” Syakila pamit dan beralalu dari sana. Ia merasa cukup senang hari ini karena bertemu dengan orang-orang yang baik. Dirumah Rara dan Evi menyambutnya dengan senyum lebar. Baru hari ini mereka merasa sangat bahagia. Biasanya mereka selalu menunggu kedua orang tua mereka yang tidak pernah kembali. Namun kali ini berbeda orang yang sekarang mereka tunggu akan selalu pulang kerumah itu, seorang kakak yang sangat mereka impikan.
            Syakila menunjukkan makanan yang baru saja dibelinya. Rara dan Evi tampak begitu senang saat mata mereka melihat begitu banyak makanan lezat yang tidak pernah mereka rasakan. Syakila juga membelikan mereka buku cerita yang yah walaupun murah tapi tetap masih bisa dibaca. Kedua gadis kecil itu tampak begitu senang, dari dulu mereka memang ingin sekali bisa membaca dan menulis dan hal itu kini tampaknya bisa terwujud.
***
            Hari terus berlalu seperti biasanya. Kehidupan Syakila dengan kedua adik angkatnya tak juga kunjung berubah. Namun walau seperti itu Ia tetap bekerja agar kedua adiknya itu dapat belajar membaca dan menulis. Kini Ia duduk termenung di dipinggir jalan. Ia berpikir akan mencari pekerjaan lain selain menjadi loper Koran. Tapi pekerjaan apa yang harus Ia lakukan!. Masih dalam keadaan melamun tiba-tiba dari jalan terdengar suara seseorang memanggilnya.
            “Hei..Koran” jerit suara itu berkali-kali. Syakila yang tadinya melamun langsung tersadar dan berlari kearah orang yang ingin membeli korannya itu.
            “Koran Pak” ucap Syakila ringan. “Iya. Saya mau beli Koran, dari tadi saya panggil-panggil kok baru nyahut sekarang” ucap Bapak-bapak yang membeli korannya dengan nada sedikit kesal.
            “Maaf pak, tadi saya lagi melamun..” ucapnya dan langsung tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. Bapak-bapak itu memilih Koran yang ingin dibacanya dan setelah itu Ia mengeluarkan uang lembaran sepuluh ribu dari kantong bajunya.
            “Ini..dan kembaliannya ambil saja untuk mu” ujar Bapak-bapak itu. Syakila menghentikan tangannya yang sibuk mencari uang receh untuk kembalian bapak itu. Ia bengong dan merasa tidak percaya dengan pendengarannya. Benarkah kembalian uang ini untuknya?!. Masih dengan rasa tidak percaya Ia masih sempat mengucapkan terimakasih pada bapak yang baik itu. Ia kembali menyebrangi jalan dengan tenang dan perasaan yang bahagia tanpa disadarinya dari tadi sudah ada orang-orang yang mengikutinya dari jauh. Sampai disebrang Syakila kaget karena kini jalannya dihalangi oleh preman-preman yang sepertinya pernah Ia lihat. Orang-orang itu langsung merampas tas miliknya.
            “Wah..banyak juga uangnya” salah satu dari preman itu berkata. Syakila memperhatikan mereka satu persatu dan ternyata benar, orang-orang itu lah yang dulu juga ingin merapas uang milik adik angkatnya. “kembalikan…”ucap Syakila tegas. “Apa..kembalikan, daerah ini adalah kekuasaan kami jadi uang ini adalah milik kami. Apa kau mengerti” ucap seorang yang dipanggil bos oleh yang lainnya. Syakila langsung menarik tas miliknya dari tangan orang itu. Perkelahian pun terjadi. Syakila melaean mereka satu persatu namun karena terlalu banyak, akhirnya syakila terjatuh. Salahsatu dari orang itu sempat ingin menusuknya. Namun hal itu tidak sampai terjadi Karena polisi sudah datang dan menangkap mereka semua. Syakila yang pingsan dibawa kerumah sakit, untunglah tidak ada luka yang serius.
           Sore itu langit terlihat mendung. Sama seperti hati kedua gadis kecil yang sedang duduk dipinggir tempat tidur syakila. Mereka menyentuh tangan syakila. Syakila pun perlahan demi perlahan membuka matanya. Ia tersenyum.
 Langit sore itu memang begitu mendung namun mendung tak selama akan turun hujan. Sama seperti kehidupan yang kini mereka jalani. Kemiskinan tak selamanya membawa kesedihan, namun terkadang kehidupan yang seperti itu harus lebih dihargai dengan kerja keras.

Cerpen - SENYUM UNTUK VITA

      Pagi ini hujan turun deras seakan mewakili hatiku yang sedang bersedih. Aku masih duduk termenung diteras depan. Masih terngiang-ngiang ditelingaku perkataan Bunda Tarsih kepala yayasan panti asuhan tempatku berada “Ingat Vita, jadilah anak yang baik. besok pagi akan datang keluarga yang akan mengadopsi mu”.  
      Sebenarnya aku tidak ingin pergi dari tempat ini. Disinilah aku dibesarkan dari kecil. Aku memang tidak pernah tahu siapa orang tuaku. Apakah mereka masih hidup? Kalau masih dimana mereka saat ini? Kenpa mereka meninggalkanku disini? Ataukah mereka sudah tidak ada lagi didunia ini. Kalau benar dimana mereka dimakamkan? Aku tidak tahu. “Vita..Vita…” Suara Bunda Tarsih menyadarkanku dari lamunan. “Ya Bunda. Aku ada disini” jawabku dengan sedikit berteriak. Terdengar suara langkah kaki yang cukup berat berjalan menghampiriku. “Vita, ayo nak ikut Bunda sebentar. Ada yang mau bertemu denganmu”
      “Siapa Bunda” tanyaku dengan kening berkerut. “Nanti juga kamu tahu, yuk”
      Bunda Tarsih menarik lenganku dengan lembut, mau tidak mau aku harus ikut dengannya menemui orang itu. Saat sampai didepan pintu kantor Bunda Tarsih aku langsung menghentikan langkah kaki ku. Bunda Tarsih bingung dengan sikapku saat itu. “Kenapa, ayo masuk” Aku menggeleng tidak mau. “aku disini saja ya Bunda” pintaku dengan wajah memelas. Melihat wajahku yang sedih Bunda Tarsih pun meng-iyakan dan masuk kedalam sendiri. Dari luar aku bisa mendengar suara seorang wanita yang menurutku sangat lembut ditelingaku sedang berbincang-bincang dengan Bunda Tarsih. Semakin lama aku mendengar suara Wanita itu membuatku semakin penasaran ingin melihatnya. Aku beranikan diri untuk mengintipnya dari balik pintu tapi aku tidak dapat melihatnya dengan jelas karena terhalang oleh pintu besar yang ada dihadapanku ini. Walaupun begitu aku bisa menangkap sedikit mengenai wanita itu. Aku bisa melihat wanita itu sangat cantik dan sepertinya juga sangat ramah. Aku tersentak kaget saat Bunda Tarsih memanggil namaku. “Vita, ayo masuk nak” Sesaat aku ragu untuk melangkahkan kaki ku kedalam ruangan itu. Tapi entah kenapa ada sesuatu yang lebih kuat menarikku untuk masuk kedalam. Setelah berada didalam aku bisa melihat dengan jelas Wanita yang sedang duduk itu tersenyum menatapku. Dari tatapan matanya aku bisa merasakan kehangatan seorang ibu.
     “Nah, ini yang namanya Vita, ayo beri salam sama Bu Kasih nak” ujar Bunda Tarsih memperkenalkanku pada wanita itu. Aku berjalan mendekatinya dan mencium tangannya. Dia membalas salamku dengan belaian lembut dikepalaku.
      “Nak, kamu mau kan tinggal dengan Ibu?” Pertanyaan itu membuatku kaget. Aku tidak tahu harus menjawab apa. kupalingkan wajahku kearah Bunda Tarsih. Dari wajah Bunda bisa kulihat kesedihan sekaligus kebahagiaan. Aku tidak mau mengecewakan Bunda. “Iya” jawabku sambil mengangguk. Kulihat lagi wajah Bunda Tarsih, kini Ia tersenyum bahagia melihatku.
***
      “Ma, aku berangkat dulu ya” aku mencium tangan Mama yang sedang berada didapur. “Vita, kamu gak bareng sama Rio dan Lia” tanya Mama
Aku langsung menggeleng “Aku naik angkot aja ma. Lagian kan dekat” jawabku sambil tersenyum.
      “Kok senang banget sih naik angkot. Padahal kamu bisa diantar sama Pak Norman atau gak ikut kakak kamu naik mobilnya” Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Mama dan berjalan keluar rumah. Hah!. Benar dirumah memang banyak mobil, benar aku bisa diantar dengan Pak Norman dan benar juga aku bisa pergi bareng Kak Rio dan Lisa. Tapi itu semua tidak mungkin bisa. Sepuluh tahun yang lalu aku datang kerumah ini sebagai anak angkat. Aku tidak tahu kenapa Mama mengadopsiku, padahal Mama sudah punya dua orang anak. Saat datang kerumah ini aku sangat berharap bisa mendapatkan banyak kasih sayang dan cinta. Memang Mama sangat sayang padaku tapi berbeda dengan Papa, Kak Rio dan Lisa mereka tidak menyukai kehadiranku disini. Karena itulah aku tidak bisa pergi dengan mereka.
      “Hei..ngalamun aja! ntar kesambet loh” Aku terkejut. Ini orang ngagetin aja sih.
Dengan malas kutolehkan mukaku. Ternyata Hesti sahabatku. Dasar usil, kerjaannya ngagetin aja. “Biarin….daripada lo pagi-pagi kerjaannya ngagetin orang”
      “Ciee..marah nih..baru gitu doang” goda Hesti. “Siapa juga yang marah..” jawbku dengan wajah cemberut.
      “Memangnya lagi ngelamunin apa sih?” tanya hesti lagi “Ada deh….pengen tau aja” jawabku. Hesti terus saja menggoda ku sampai angkot yang kami naiki berhenti didepan gerbang sekolah. Kumasuki halaman sekolahku. Saat melangkah masuk seulas senyum sudah menyambut kedatanganku dan Hesti. Ya setiap pagi satpam penjaga sekolah ku ini selalu memberikan senyuman yang hangat. Pagi itu suasana kelas seperti biasa, berisik seperti dipasar!. Kulihat teman-temanku sibuk pinjam ini itu dengan yang lain. Pasti mereka belum ngerjain Pr bahasa inggris dari Bu Dian deh.
      “Eh Hes, lo udah ngerjain pr bahasa inggris?” Hesti langsung menjitak jidatnya dan menggeleng “Gila gue lupa sama Pr nya Bu Dian. Gimana nih? Gue nyontek pr lo deh Vit” Aku langsung geleng-geleng kepala dengan sikap Hesti. Kalo aku gak kasih liat kasian dia nanti di marahin habis-habisan didepan kelas. Terpaksa kali ini aku harus menolongnya.
      “Tapi cuma kali ini aja lo gue kasih pinjem” Hesti mengangguk dan langsung menyalin tulisan yang ada dibukuku kedalam bukunya.
      Bel pulang berbunyi. Aku menghela nafas panjang. Seharian ini suasana dikelas membosankan. Apalagi tadi ulangan Bahasa Inggris mendadak. Tambah mumet otakku. “Pulang yuk Vit” ajak Hesti. Aku mengangguk, lalu menjejeri langkahnya meninggalkan kelas. Saat sampai dihalaman sekolah, aku melihat Lisa dijemput oleh Kak Rio.
      “Vit, itu Kaka sama adek lo. Gue heran kenapa lo gak pulang bareng mereka aja sih?” Aku menghela nafas dan tersenyum “Gak kenapa-kenapa kok. Gue lebih suka naik angkot” jawabku bohong.  Aku dan Hesti duduk di halte menunggu angkot yang datang.
      Setelah turun dari angkot yang aku naiki kulanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan komplek rumahku. Siang itu udara sangat panas, matahari sepertinya sangat senang sekali memancarkan cahayanya ke penjuru kota. Aku terus berjalan dengan langkah pelan.
      “Vita” sebuah suara berseru memanggil namaku. Ku hentikan kaki ku melangkah dan kutolehkan mukaku kebelakang melihat siapa orang yang sudah memanggil ku tadi. Dari jauh aku bisa melihat sosok laki-laki yang seumuran denganku berlari menghampiriku. “Ditya” gumamku pelan.
      Ditya sudah berdiri dihadapanku dengan wajah penuh keringat dan rambut yang berantakan, tapi anehnya wajah tampannya itu tetap saja tampan walau seperti itu.
      “Lo cepet banget sih jalannya” ujarnya dengan napas yang ngos-ngosan.
      “Emangnya dari tadi lo ngikutin gue?”tanyaku bingung. Sebelum menjawab Ditya terlihat seperti mengatur napasnya. “Iya” dia tertawa manis.
      Ditya adalah cowok super keren yang menjadi idola cewek-cewek disekolah termasuk Lisa. Ditya sangat dekat dengan Lisa dan Kak Rio. Dan sekarang kenapa bisa dia mengikutiku. Benar-benar hal yang aneh.
      “Oh, lo pasti mau kerumah dan ketemu sama Lisa, yak an?” tanyaku sok tahu. Ditya tampak bingung “Kenapa gue mau ketemu Lisa?” ucapnya balik bertanya.
      “Oh kalo gak gak ketemu Lisa berarti ketemu sama Kak Rio ya?”tanyaku lagi. Ditya masih menggelengkan kepalanya. “Trus lo mau ketemu siapa?” tanyaku penasaran. “Gue mau ketemu lo” jawabnya santai.
      “Hah! Ke..ketemu gue” aku sedikit gugup saat menjawab karena selama ini Ditya gak pernah dekat denganku. Dan tiba-tiba saja sekarang dia mau ketemu aku, ini pasti mimpi. “Yuk jalan” ujarnya sambil menggandeng tanganku.
Dan dari kejauhan sepasang mata melihat mereka dengan iri dan marah.
***
      “Vita, maksud lo apa sih sebenarnya deketin Ditya?” tiba-tiba lisa datang kekamarku dengan marah-marah dan tanpa permisi.
      “Deketin Ditya? Aku gak pernah deketin Ditya” jawabku. Lisa masih saja tidak percaya dengan apa yang aku katakana dan terus marah-marah gak jelas.
      “Gak pernah lo bilang, trus kemarin ngapain lo gandengan tangan sama dia” cecarnya lagi. Sepertinya aku sudah mengerti apa yang menyebabkan Lisa marah-marah seperti ini. “Oke, biar aku jelasin dulu. Pertama bukan aku yang mau menggandeng tangan Ditya tapi dia yang gandeng tangan aku dan yang ke dua aku gak pernah merebut siapapun dari kamu, jelas” jawabku dengan lantang
      Lisa sedikit tertegun saat mendengar kata-kata ku. Dia seperti sedang mencerna semua yang aku katakan dan sepertinya dia juga sedang mencari kata-kata yang tepat untuk membalas kata-kataku tadi. “Lo tuh…” Lisa ingin berkata lagi namun hal itu tidak berlangsung lama, Lisa tidak bisa membalas ucapanku, mungkin dalam hatinya dia membenarkan setiap apa yang aku katakan
***
      Hari ini sangat berbeda dengan hari kemarin. Hari ini langit begitu mendung, anginnya juga begitu kencang sepertinya sangat tidak bersahabat. Dari dalam kelas aku dapat melihat Lisa berjalan dengan Ditya. Lisa merangkul tangan Ditya dengan begitu manja, tapi dilain pihak orang yang dirangkul sepertinya ingin sekali melepaskan dirinya dari rangkulan tangan gadis itu.
      “Dit, besok kamu bareng aku aja ya ke ultahnya Risa?” pinta Lisa dengan suara manja. “Lo kan biasanya diantar sama Kakak Lo, Rio” ujarnya malas.
      “Iya, tapi sekali-kali kan aku juga mau bareng sama kamu jalannya” ujarnya manja. Ditya seperti sedang berpikir sebelum menjawab permintaan Lisa.
      “Sorry Lis, besok kayaknya gue gak bisa bareng lo. Coz teman-teman gue udah pada janjian sama gue buat pergi bareng” ujarnya memberi alasan. Hal ini membuat Lisa merasa sebal pada Ditya, tapi perasaan ini tidak dia tunjukkan, jaim gitu loh!.
***
      “Kak, aku boleh bareng gak ke ultahnya Risa?” pintaku sambil memelas.
      “Kenapa? Bukanya kamu suka naik angkot dan lagi Lisa ngajak teman-temannya, kemungkinan besar kamu gak bisa naik”  Aku sedih mendengar jawaban yang Kak Rio berikan. Lisa..lisa..lisa terus, memangnya adik Kak Rio itu cuma Lisa ya..Huh! gerutuku dalam hati dan pergi meninggalkan Kak Rio.
      “Ma, Pa..aku pergi dulu ya ke ultahnya Risa” pamitku pada Papa dan Mama yang asik nonton televisi. “Pergi sama siapa Nak?” tanya Mama
      “Sendiri Ma, naik angkot” jawabku sambil melirik kearah Papa yang memang tidak pernah peduli padaku.
      “Yaudah, kalo gitu hati-hati ya” Aku mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan rumah.
      Saat berada dirumah Risa aku duduk termenung di sudut taman. Kulihat Hesti sibuk mondar-mandir mengambil makanan yang disajikan.
      “Hei Vit, lo gak makan?” tanya Hesti yang telah duduk disampingku.
Aku menggeleng “Gue gak laper”
      “Wah rugi loh kalau lo gak nyoba makanannya. Ini enak loh” jawab Hesti sambil menunjukkan berbagai kue yang sudah diambilnya. Melihat kue-kue itu aja aku gak berselera. Hah!. “Hesti, gue pulang sekarang ya” aku berdiri dari duduk ku.
Hesti langsung menghentikan makannya dan menatapku heran  “Loh kok gitu?”
      “Gue lagi males aja hari ini. Nih kado gue titip ke lo ya, jangan lupa dikasih ke Risa” ujarku. Belum jauh aku berjalan sebuah tangan telah menarik tanganku dan membuatku berhenti berjalan. Ku lirik pemilik tangan tersebut “Ditya, tolong lepasin tangan gue” ujarku dengan nada sedikit kesal. “Lo, mau kemana Vit. Pesatanyakan belum selesai” ujar Ditya tanpa melepas pegangannya.
      “Gue mau pulang, jadi please lepasin tangan gue” pintaku lagi kali ini dengan nada yang tidak seperti tadi. “Ditya” sebuah suara memanggil Ditya dan orang itu berlari-lari kecil kearah kami. “Ngapain kamu disini, kesana Yuk” Lisa langsung menarik Ditya kearahnya dan hal itu menyebabkan tangannya yang memegang lenganku terlepas.
      Melihat adegan itu aku jadi merasa risih dan tersisihkan, karena tanganku telah dia lepas aku langsung berlari menuju jalan raya tanpa melihat kiri dan kanan. Namun tiba-tiba saja ada sebuah mobil yang berjalan dengan kencang dari arah sebelah kanan dan kakiku yang sudah melangkah berhenti tiba-tiba ditengah-tengah jalan. Aku tidak bisa menghindari mobil itu lagi, mobil itu menabrakku hingga aku terpental cukup jauh dan terjatuh tepat diatas sebuah potongan kaca. Masih sempat kudengar orang-orang sekitar memanggil namaku tapi lama-kelamaan suara-suara itu mulai lenyap dan pandanganku mulai kabur, lama-kelamaan yang terlihat hanya gelap..gelap..dan gelap.
“Apa?!” suara Bu Kasih memecahkan keheningan. Dari mata indahnya menetes sebutir air bening..Ia menangis. Pak Sofyan suaminya yang saat itu ada disana melihatnya dengan perasaan bingung karena saat itu istrinya menangis. Ia kemudian berjalan mendekati istrinya dan masih dilihatnya mata indah itu masih mengeluarkan air mata.  “Pa, Vita…vita” ujarnya lirih.
      “Hah, anak itu lagi. Apalagi sekarang ulahnya” ucap Pak Sofyan sinis
      “Vita kecelakaan Pa” ujar Bu Kasih dengan suara bergetar.
Mendengar hal itu Pak Sofyan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Melihatnya Bu Kasih menjadi marah. “Apa Papa gak punya hati. Ingat Pa, Vita itu anak kandung Papa” ujar Bu Kasih marah.
      “Praaanggg..” terdengar suara gelas pecah. Bu Kasih dan Pak Sofyan kaget saat mendengar itu. Mereka langsung melihat kearah sumber suara dan disana telah berdiri Rio yang tertegun tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
      “Jadi…Vita itu adik kandung Rio Pa. Benar Pa?” tanya Rio. Pak Sofyan hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan anaknya itu. “Pa, tolong jawab pertanyaan Rio ini Pa. Ma, tolong jawab ma” kini matanya beralih kearah Mamanya. Bu Kasih menghela nafas dan mulai berkata “Iya Rio, Vita itu adik kandung kamu” ujar Bu Kasih sambil menatap Rio. Bu Kasih akhirnya harus menceritakan semua rahasia yang selama ini disimpannya sendiri. Rio menatap marah kepada Papanya. “Lalu sekarang Vita ada dimana Ma?” tanya Rio
      “Vita ada dirumah sakit. Sekarang Mama mau kesana, kamu mau ikut?”
Rio mengagguk. Ia kemudian mengikuti Bu Kasih dari belakang.
Pak Sofyan masih duduk termenung diruangan itu. Kesunyian membawanya ke masa lalu. Ya Vita adalah anak kedua dari istrinya yang telah meninggal, karena itu Ia sangat membenci Vita. Sangat lama Ia duduk termenung mengenang masa lalu sampai Ia teringat kembali janjinya pada Anisa istri yang sangat dicintainya namun telah pergi kepangkuan Tuhan “Pa, kalau anak kita lahir dan Mama gak bisa nemenin Papa lagi..Papa mau kan menjaga anak-anak kita, memberikan mereka banyak cinta dan kasih sayang” kata-kata itu terus bergema diruangan sunyi itu. Benar saat itu Ia sudah berjanji untuk menyayangi dan mencintai anak-anaknya walau istrinya tidak ada didunia ini lagi, tapi kenyataannya Ia telah mengingkari janjinya pada Anisa. Setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya yang sayu. Ia menangis, menyesal karena telah mengingkari janjinya pada Anisa, menyesal karena telah membuang anak perempuan satu-satunya yang diberikan Anisa.
      Dokter-dokter terus keluar masuk ruang itu, ruangan dimana Vita kini terbaring tak berdaya, ruangan dimana Vita harus berjuang untuk hidup. “Dokter, bagaimana keadaan anak saya” tanya Bu Kasih
      “Saat ini kondisi pasien sangat kritis, dia mengalami luka yang cukup parah. Kaca menancap sangat dalam pada punggunngya, kami harus berhari-hati untuk mengeluarkannya. Saya minta Ibu berdoa saja agar operasi ini berjalan lancar”. Mendengar penjelasan dokter air mata Bu Kasih kembali mengalir. Ia seakan tak sanggup lagi berdiri hingga Lisa yang sudah dari tadi ada disana harus memeganginya. Sedangkan Rio merasa sangat bersalah, kenapa Ia tidak mau mengantar adiknya itu tadi, Ia sangat membenci dirinya saat ini.  Operasi yang dilakukan memakan waktu sekitar tiga jam. Bu Kasih, Rio dan Lisa masih menunggu diluar tanpa beranjak sedikitpun. saat sedang menunggu, mereka tidak menyangka kalau Pak Sofyan sudah berada disana. “Papa!” ucap Rio kaget . Pak Sofyan berjalan mendekati keluarganya. “Rio, maafkan Papa atas semua ini” ucap Pak Sofyan dengan menangis. Rio langsung memeluk Papanya sedangkan Lisa yang tidak tahu apa-apa merasa bingung dengan apa yang dilihatnya. Bu Kasih yang melihat itu akhirnya menceritakan semua kebenaran mengenai siapa Vita sebenarnya. Sesaat dia merasa tidak percaya tapi setelah itu dia menangis menyesali semua perbuatannya selama ini dan Ia berjanji jika Vita sadar apapun akan dilakukannya bahkan merelakan Ditya yang sangat disukainya untuk Kakaknya itu.
       Saat itu malam hari, sinar lampu rumah sakit menyilaukan mataku. Aku buka perlahan demi perlahan mataku dan mulai mengerjap-ngerjapkannya. Seluruh tubuhku terasa sakit. Kulihat disamping ku sedang tertidur seseorang, kugerakkan tanganku dan membuat orang itu terbangun dan ternyata Papa. “Akhirnya kamu bangun juga Nak” ujarnya sambil mencium keningku. Aku masih belum bisa memfokuskan pandanganku. Rasa sakit ditubuhku masih begitu terasa. “Aku dimana?”tanyaku dengan suara pelan karena tenggorokkanku terasa kering. “Kamu dirumah sakit Nak” ujar Papa masih dengan senyuman dibibirnya dan tangannya membelai rambutku. Saat ini aku masih tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Dibelakang Papa aku juga bisa melihat Mama, Kak Rio, Lisa dan Ditya, mereka semua tersenyum padaku, senyum yang tulus dan hangat seakan-akan mereka sangat merindukanku.