Senin, 07 November 2011

Cerpen - SAHABAT KECIL NAILA

“ Siang Rey..” sapa Naila, Ia melemparkan tasnya ke sofa dan berjalan kearahku. Ia mulai memelukku hangat, membelai kepalaku dengan lembut dan mengajakku duduk di sofa. Hari ini aku melihat lagi wajah lusuhnya yang seperti penuh dengan kesedihan.
            “Rey, kau tahu hari ini aku dilukai lagi..” Naila menatapku dengan mata penuh luka dan berkaca-kaca. Naila mulai menitikkan air mata dan air mata itu jatuh tepat diatas kepalaku. Aku tahu siapa orang yang sudah membuat Naila menangis. Ya, pasti Robi, cowok yang sudah hampir dua bulan ini menjadi kekasih Naila. Aku pernah bertemu dengan cowok itu satu kali, itupun saat Naila berulangtahun. Cowok itu memang terlihat keren tapi aku tidak suka dengan sikapnya yang sok cool dan selalu tebar pesona.
            “Hari ini aku lihat dia dengan seorang perempuan...”ujar Naila lagi masih dengan terisak-isak. Ini untuk kedua kalinya Naila terluka oleh laki-laki. Aku hanya bisa menatap sedih mata Naila, aku dekatkan lagi tubuhku padanya dan memberikannya kehangatan. Sesekali aku juga mengelus tangannya yang lembut. Sudah sangat lama aku tidak melihat Naila menangis.
            Ya, sangat lama. Dulu saat aku masih baru bertemu dengannya. Saat itu pertama kalinya aku menatap mata Naila, mata yang menyiratkan kelembutan. Hujan sangat deras saat aku bertemu dengan Naila. Gadis itu berjalan kearahku dengan tergesa-gesa dan kemudian Ia membawaku pulang dan tinggal bersamanya. Hari-hari yang aku lalui bersama Naila sangatlah menyenangkan sampai suatu ketika aku melihat mata indah itu menangis. Naila selalu bercerita kepadaku mengapa dia menangis.
Malam itu Ia bercerita bahwa Ia telah dicampakkan begitu saja oleh kekasih yang selalu mengisi hari-harinya. Ia menangis terisak-isak sangat lama. Sampai mata indah itu terlihat bengkak. Begitu sakitkah hatinya?!. Begitu berhargakah laki-laki itu?!. Entahlah, aku tidak bisa merasakan hal itu. Dan kini, mata indah itu kembali menangis.
            “Kau tahu Rey, perempuan itu adalah sahabatku sendiri..” isaknya lagi, “ aku tidak akan begitu terluka jika perempuan itu adalah orang lain, tapi kenyataannya dia adalah sahabatku sendiri, sahabat yang selalu aku percaya, Rey” ujarnya dan kini sudah mulai sedikit tenang.
Aku begitu terkejut saat Naila mengatakan bahwa perempuan itu adalah sahabatnya sendiri. Aku juga mengenal siapa sahabat Naila itu. Dia sering datang kerumah ini dan terkadang dia juga memberikanku makanan. Ternyata kebaikannya selama ini hanya untuk menutup kebusukannya.
Aku begitu sedih melihat Naila. Ia begitu baik pada siapapun tapi kenapa Ia harus mengalami hal seperti ini. Kini hanya aku yang dapat Ia percaya, hanya aku.
“Rey, kenapa cinta begitu menyakitkan? Tidak bisakah setia hanya pada satu wanita? Apa itu sulit?” ujar Naila pelan.
            Entahlah…aku juga tidak tahu jawabannya.
            Naila tertidur disofa itu. Sesekali air mata keluar dari matanya yang sedang tertutup. Aku menatap Naila yang sedang tidur. Sepertinya Ia begitu lelah, lelah jiwa dan raganya.
***
            “Pagi Rey…” sapa Naila semangat. Aku masih meringkuk di tempat tidurku. Pagi yang dingin, tapi ada yang berbeda pagi ini. Kulihat Naila begitu ceria dan sepertinya dia sudah melupakan kesedihannya beberapa hari yang lalu.
            “Ayo Rey..jangan tidur terus. Ayo kesini temani aku lari pagi” ujar Naila lagi sambil menatap kearahku. Aku bangkit dari tidurku dan sedikit merenggangkan tubuh, lalu aku berlari kecil kearah Naila. Udara pagi membuat seluruh buluku berdiri, jalanan juga masih terlihat sepi tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang sehingga udara yang dihirup tidak berpolusi. Aku masih mengikuti Naila dari belakang. Kini wajah Naila terlihat begitu segar seakan-akan tidak pernah menghadapi masalah apapun.
            “Rey, besok aku akan pergi keluar kota untuk meneliti tugas skripsiku..kau akan dijaga dengan baik oleh Mama” ujar Naila sambil berlari-lari kecil. Aku langsung mendongakkan kepalaku menatap Naila. Aku tahu Naila tidak mungkin membawaku bersamanya. Tidak mungkin kan menjaga seekor kucing saat sedang melakukan penelitian. Aku menatap Naila dengan mata yang terlihat sedih. Naila berhenti berlari dan berjongkok serta menatapku. “Rey, kau adalah sahabat yang paling aku sayangi. Tapi kali ini aku tidak bisa membawamu. Maafkan aku ya!” ucap Naila tulus.
            Aku hanya mendekatkan kepalaku kearah tangannya sebagai jawaban, Naila mengelus kepalaku dengan lembut. Dinginnya tangan Naila bisa kurasakan, setidaknya dengan membelai buluku bisa memberikan kehangatan pada tangan Naila yang dingin karena udara pagi.
            Hari ini Naila selalu bermain bersamaku. Mengajakku jalan-jalan, membelikan aku makanan dan juga memeluk tubuhku yang kecil. Inilah yang selalu Naila lakukan jika Ia harus meninggalkan aku cukup lama. Aku bisa merasakan ketulusan yang Naila berikan untukku. Aku pasti akan sangat merindukan Naila.
                                                                     ***
            Sudah hampir dua minggu Naila pergi. Aku merasa sangat sepi tanpa Naila. Aku duduk termenung diatas bangku yang terdapat di teras depan menanti kedatangan Naila. Setiap hari aku selalu duduk disana. Hari ini pun aku juga duduk disana. Menatap langit mendung , menanti kepulangan Naila. Hujan turun sedikit demi sedikit dan membasahi halaman rumah. Angina berhembus meniupkan aroma tanah yang basah. Aku masih duduk disana, memandangi hujan. Terlintas lagi olehku kenangan saat Naila menemukannku.
            Aku yang masih kecil telah ditelantarkan dan dipisahkan dari Ibuku. Mereka tidak menginginkanku dan hanya memelihara Ibuku. Malam itu saat aku sedang tertidur disamping Ibu ku, seseorang yang kukenal yaitu pemilik Ibu dan aku dulu berjalan pelan-pelan kearahku. Dia mengendong tubuhku yang masih kecil dan memasukkan ku kedalam sebuah kardus kosong. Aku yang saat itu masih sangat kecil tidak bisa melawannya. Dia membawaku keluar rumah dan meninggalkanku dijalanan yang sepi. Aku terus berusaha untuk keluar. Ku coba memanjat sisi lain kardus yang terbuka, namun tetap tidak bisa ku gapai. Lama sekali aku terus berusaha untuk keluar dari kardus itu, sampai tenagaku terkuras dan aku hanya bisa meringkuk didalam kardus kosong, gelap dan juga dingin itu. Semakin lama aku merasa semakin dingin, sampai ada seseorang gadis yang berteduh disamping kardus tempatku berada. Aku berusaha bergerak agar gadis itu menyadari kehadiranku dan benar, dia langsung berjongkok dan membuka kardus itu. Saat itulah aku melihat Naila. Ia tersenyum padaku, mengangkat tubuh kecilku yang kedingan dan memelukku, memberikanku kehangatan tubuhnya.
            “Teman kecil yang malang, kau pasti sangat kedinginan” ucap Naila kecil dan langsung menggendongku. Saat itu aku merasa sangat tenang berada di pelukan Naila. Naila telah menolongku dan memberikanku kasih sayangnya selama ini, karena itulah aku akan selalu menanti Naila kembali dan memelukku lagi.
***
            Hari ini Naila menelpon. Dia menanyakan kabarku, apa aku diberi makan dengan benar? Apa aku selalu dibersihkan? Apa aku sakit dan masih banyak lagi. Aku sangat senang mendengar Naila mengkhawatirkan ku, Naila tidak lupa padaku. Naila juga minta maaf karena baru sempat menelpon dan juga belum bisa kembali kerumah. Tapi bagiku itu tidak apa-apa asalkan Naila tidak melupakan diriku bagiku itu sudah cukup.
            Oh iya, kalian tahu Naila mengatakan akan kembali dalam beberapa hari lagi. Aku tidak sabar menanti hari itu. Aku rindu mendengar suara Naila memanggil namaku. Aku rindu ingin melihat senyum Naila.
            Aku selalu makan tepat waktu, buluku juga selalu dibersihkan. Aku tidak ingin Naila melihat ku kurus, sakit dan tidak terurus. Mama selalu merawatku dengan baik dan Raihan adik kecil Naila selalu mengajakku bermain bersamanya.
            Dua hari telah berlalu semenjak Naila menelpon. Besok Naila akan kemabali kerumah. Naila juga berjanji membelikanku hadiah. Aku tidak sabar ingin mengetahui hadiah apa yang Naila berikan untukku.
            Pagi berganti siang dan siang berganti malam. Aku mencoba untuk tertidur, namun tidak bisa. Mataku tidak mau terpejam. Dipikiranku hanya terbayang wajah Naila yang bahagia. Aku rindu padanya..sangat merindukannya. Aku bangkit dari tempatku dan berjalan menuju jendela yang terbuka. Aku duduk ditepi jendela. Angina malam berhembus pelan mengibaskan buluku yang sudah cukup panjang.
            Lama kupandangi langit yang gelap sampai berubah menjadi jingga dan kemudian berubah menjadi biru. Aku turun dari jendela itu dan berlari keluar rumah. Aku kembali duduk diteras rumah menanti kepulangan Naila. Aku ingin menjadi yang pertama menyambut kedatangan Naila. Aku begitu bersemangat menunggu Naila dengan sabar, tanpa aku sadari waktu terus bejalan. Matahari bergerak perlahan demi perlahan. Langit mulai merubah warnanya yang tadi berwarna biru kini telah berubah berwarna kuning keemasan. Sorepun telah tiba namun aku belum melihat Naila. Seluruh keluarga selalu menelpon dimana Naila sekarang namun belum satu tepon pun yang diangkat Naila. Mama dan Raihan kini duduk bersamaku dibangku yang ada diteras depan, sedangkan Papa terus mencoba menghubungi ponsel Naila. Masih sama, Naila belum mengangkat teleponnya. Merasa gagal menghubungi putri tersayangnya. Papa kembali duduk disamping Mama.
            Tak lama setelah itu, ponsel Papa berdering. Dilihatnya layar ponsel itu, disana tertulis Naila. Papa begitu senang saat melihat nama anaknya dilayar ponselnya. Cepat-cepat diangkatnya ponsel itu. Tak lama mengangkat telepon itu, raut wajah Papa yang tadinya ceria berubah menjadi begitu pucat. Seketika airmatanya mengalir. Melihat suaminya menangis Mama langsung berdiri dan bertanya.
            “Ada apa Pa? siapa yang nelpon?” ujar Mama dengan nada cemas.
            “Putri kita ma..Naila mengalami kecelakaan!”
            Mama yang berdiri di samping papa langsung terduduk kembali. Ia tidak percaya putri satu-satunya kini mengalami kecelakaan. Aku yang masih duduk di pangkuan Raihan juga merasa tidak percaya bahwa Naila mengalami kecelakaan.
            Papa dan Mama langsung pergi kerumah sakit diamana Naila dirawat. Dokter mengatakan bahwa naila mengalami benturan keras dikepalanya dan sebagian tulang kakinya juga mengalami kerusakan. Saat ini Naila masih mengalami koma.
            Setiap hari Papa dan Mama selalu menjenguk naila dan terkadang Raihan juga ikut bersama mereka. Aku juga ingin menjenguk Naila, namun aku tidak bisa kesana. Buluku akan menyebarkan virus bagi mereka yang sedang sakit. Jadi aku hanya bisa menunggu dirumah. Menunggu Naila kembali dengan senyumnya. Hari terus berlalu, bulan pun telah berganti. Papa dan Mama memutuskan untuk merawat Naila dirumah karena Papa sudah tidak sanggup membayar biaya rumah sakit yang cukup mahal.
            Aku melihat Naila tertidur lama sekali. Mata itu tidak pernah terbuka. Tangan itu tidak pernah membelaiku lagi, bibir itu tidak lagi tersenyum padaku. Namun walaupun begitu aku masih bisa merasakan kehangatan tangan Naila. Setiap hari aku selalu menemani Naila yang terbaring tanpa bergerak sama sekali. Sesekali aku meletakkan kepalaku ditangannya agar Ia bisa merasakan hangat dan lembutnya buluku. Kulihat alat-alat medis yang ada disamping Naila bergerak naik turun saat tangan Naila menyentuhku.
            Setiap pagi aku selalu masuk kekamar Naila, menyapanya. Sama seperti Naila yang selalu menyapaku setiap pagi. Terkadang aku duduk diatas kaki Naila dan terkadang aku berjalan-jalan disekeliling ruangan itu. Aku ingin Naila bangun dan menyadari kehadiranku. Sampai suatu pagi, aku dengan tergesa-gesa berlari kekamar Naila dan naik keatas tempat tidurnya. Kudekatkan tubuhku ketangannya dan tiba-tiba tangan itu bergerak. Aku kaget dan juga senang melihat itu. Perlahan demi perlahan kulihat mata Naila terbuka. Kini mata memandangku. Kulihat tatapannya yang kosong, seakan dia belum sadar sepenuhnya, namun lama kelamaan wajah itu tersenyum hangat. Naila telah kembali, aku melompat kearahnya dan Ia memelukku dengan lembut, seperti biasanya. Setelah terlepas dari pelukan Naila aku berlari keluar memanggil seluruh keluarga yang masih berada di meja makan. Awalnya mereka pikir aku ingin makan lagi, namun karena aku masih tidak memakan makanan yang mereka berikan akhirnya mereka mau mendengarkanku. Aku terus mengeong, dan menarik celana Papa agar mengikutiku. Papa, Mama dan Raihan pun akhirnya mengikutiku. Mereka terus berjalan mengikutiku kekamar Naila.
            Saat itu Mama sangat terkejut karena Naila sudah duduk dari posisinya yang semula tidur. Mama langsung memeluk Naila, begitu juga dengan Papa dan Raihan, mereka juga melakukan hal yang sama.
            Kini aku akan selalu menemani hari-hari Naila. Ia berusaha untuk bisa sembuh total dan terus menjalankan terapi. Sesekali Naila bermain bersamaku dan terkadang dia memelukku dan mengatakan “Rey kau adalah sahabat kecilku yang sangat aku sayangi”.
            Benar, aku adalah sahabat kecil Naila, dan selamanya akan selalu menjadi sahabat kecil Naila yang setia.

Senin, 18 April 2011

MY FAMILY

      Pagi ini hujan turun deras seakan mewakili hatiku yang sedang bersedih. Aku masih duduk termenung diteras depan. Masih terngiang-ngiang ditelingaku perkataan Bunda Tarsih kepala yayasan panti asuhan tempatku berada “Ingat Vita, jadilah anak yang baik. besok pagi akan datang keluarga yang akan mengadopsi mu”.
      “haah” desahku.
      Sebenarnya aku tidak ingin pergi dari tempat ini. Disinilah aku dibesarkan dari kecil. Aku memang tidak pernah tahu siapa orang tuaku. Apakah mereka masih hidup? Kalau masih dimana mereka saat ini? Kenpa mereka meninggalkanku disini? Ataukah mereka sudah tidak ada lagi didunia ini. Kalau benar dimana mereka dimakamkan? Aku tidak tahu.
      “Vita..Vita…”
Suara Bunda Tarsih menyadarkanku dari lamunan.
      “Ya Bunda. Aku ada disini” jawabku dengan sedikit berteriak.
Terdengar suara langkah kaki yang cukup berat berjalan menghampiriku.
      “Vita, ayo nak ikut Bunda sebentar. Ada yang mau bertemu denganmu”
      “Siapa Bunda” tanyaku dengan kening berkerut.
      “Nanti juga kamu tahu, yuk”
Bunda Tarsih menarik lenganku dengan lembut, mau tidak mau aku harus ikut dengannya menemui orang itu.
      Saat sampai didepan pintu kantor Bunda Tarsih aku langsung menghentikan langkah kaki ku. Bunda Tarsih bingung dengan sikapku saat itu.
      “Kenapa, ayo masuk”
Aku menggeleng tidak mau. “aku disini saja ya Bunda” pintaku dengan wajah memelas.
Melihat wajahku yang sedih Bunda Tarsih pun meng-iyakan dan masuk kedalam sendiri. Dari luar aku bisa mendengar suara seorang wanita yang menurutku sangat lembut ditelingaku sedang berbincang-bincang dengan Bunda Tarsih. Semakin lama aku mendengar suara Wanita itu membuatku semakin penasaran ingin melihatnya.
      Aku beranikan diri untuk mengintipnya dari balik pintu tapi aku tidak dapat melihatnya dengan jelas karena terhalang oleh pintu besar yang ada dihadapanku ini. Walaupun begitu aku bisa menangkap sedikit mengenai wanita itu. Aku bisa melihat wanita itu sangat cantik dan sepertinya juga sangat ramah.
      Aku tersentak kaget saat Bunda Tarsih memanggil namaku.
      “Vita, ayo masuk nak”   
Sesaat aku ragu untuk melangkahkan kaki ku kedalam ruangan itu. Tapi entah kenapa ada sesuatu yang lebih kuat menarikku untuk masuk kedalam. Setelah berada didalam aku bisa melihat dengan jelas Wanita yang sedang duduk itu tersenyum menatapku. Dari tatapan matanya aku bisa merasakan kehangatan seorang ibu.
     “Nah, ini yang namanya Vita, ayo beri salam sama Bu Kasih nak” ujar Bunda Tarsih memperkenalkanku pada wanita itu.
      Aku berjalan mendekatinya dan mencium tangannya. Dia membalas salamku dengan belaian lembut dikepalaku.
      “Nak, kamu mau kan tinggal dengan Ibu?”
Pertanyaan itu membuatku kaget. Aku tidak tahu harus menjawab apa. kupalingkan wajahku kearah Bunda Tarsih. Dari wajah Bunda bisa kulihat kesedihan sekaligus kebahagiaan. Aku tidak mau mengecewakan Bunda.
      “Iya” jawabku sambil mengangguk.
Kulihat lagi wajah Bunda Tarsih, kini Ia tersenyum bahagia melihatku. Hari itu adalah hari terakhir aku berada dipanti asuhan bersama Bunda Tarsih dan teman-temanku yang lain.
***
10 tahun kemudian
      “Ma, aku berangkat dulu ya” aku mencium tangan Mama yang sedang berada didapur.
      “Vita, kamu gak bareng sama Rio dan Lia”
Aku langsung menggeleng “Aku naik angkot aja ma. Lagian kan dekat” jawabku sambil tersenyum.
      “Kok senang banget sih naik angkot. Padahal kamu bisa diantar sama Pak Norman atau gak ikut kakak kamu naik mobilnya”
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Mama dan berjalan keluar rumah. Hah! Benar dirumah memang banyak mobil, benar aku bisa diantar dengan Pak Norman dan benar juga aku bisa pergi bareng Kak Rio dan Lisa. Tapi itu semua tidak mungkin bisa.
      Sepuluh tahun yang lalu aku datang kerumah ini sebagai anak angkat. Aku tidak tahu kenapa Mama mengadopsiku, padahal Mama sudah punya dua orang anak. Saat datang kerumah ini aku sangat berharap bisa mendapatkan banyak kasih sayang dan cinta. Memang Mama sangat sayang padaku tapi berbeda dengan Papa, Kak Rio dan Lia mereka tidak menyukai kehadiranku disini. Karena itulah aku tidak bisa pergi dengan mereka.
      “Hei..ngalamun aja! ntar kesambet loh”
      Aku terkejut. Ini orang ngagetin aja sih.
Dengan malas kutolehkan mukaku. Ternyata Hesti sahabatku. Dasar usil, kerjaannya ngagetin aja.
      “Biarin….daripada lo pagi-pagi kerjaannya ngagetin orang”
      “Ciee..marah nih..baru gitu doang” goda Hesti
      “Siapa juga yang marah..” jawbku dengan wajah cemberut.
      “Memangnya lagi ngelamunin apa sih?”
      “Ada deh….pengen tau aja”
Hesti terus saja menggoda ku sampai angkot yang kami naiki berhenti didepan gerbang sekolah.
      Kumasuki halaman sekolahku. Saat melangkah masuk seulas senyum sudah menyambut kedatanganku dan Hesti. Ya setiap pagi satpam penjaga sekolah ku ini selalu memberikan senyuman yang hangat.
      Pagi itu suasana kelas seperti biasa, berisik seperti dipasar!. Kulihat teman-temanku sibuk pinjam ini itu dengan yang lain. Pasti mereka belum ngerjain Pr bahasa inggris dari Bu Dian deh.
      “Eh Hes, lo udah ngerjain pr bahasa inggris?”
Hesti langsung menjitak jidatnya dan menggeleng “Gila gue lupa sama Pr nya Bu Dian. Gimana nih? Gue nyontek pr lo deh Vit”
Aku langsung geleng-geleng kepala dengan sikap Hesti. Kalo aku gak kasih liat kasian dia nanti di marahin habis-habisan didepan kelas. Terpaksa kali ini aku harus menolongnya.
      “Tapi cuma kali ini aja lo gue kasih pinjem”
Hesti mengangguk dan langsung menyalin tulisan yang ada dibukuku kedalam bukunya.
      Bel pulang berbunyi. Aku menghela nafas panjang. Seharian ini suasana dikelas membosankan. Apalagi tadi ulangan Bahasa Inggris mendadak. Tambah mumet otakku.
      “Pulang yuk Vit” ajak Hesti
Aku mengangguk, lalu menjejeri langkahnya meninggalkan kelas. Saat sampai dihalaman sekolah, aku melihat Lisa dijemput oleh Kak Rio.
      “Vit, itu Kaka sama adek lo. Gue heran kenapa lo gak pulang bareng mereka aja sih?”
Aku menghela nafas dan tersenyum “Gak kenapa-kenapa kok. Gue lebih suka naik angkot” jawabku bohong.
Aku dan Hesti duduk di halte menunggu angkot yang datang.
***
      “Kak, hari ini bisa tolong antarin aku gak ke ultahnya Risa?” pintaku sambil memelas.
      “Kakak gak bisa. Hari ini Lisa mau liat pameran lukisan, jadi kakak harus nemenin Lisa”
Aku sedih mendengar jawaban yang Kak Rio berikan. Lisa..lisa..lisa terus, memangnya adik Kak Rio itu cuma Lisa ya..Huh! gerutuku dalam hati dan pergi meninggalkan Kak Rio.
      “Ma, Pa..aku pergi dulu ya ke ultahnya Risa” pamitku pada Papa dan Mama yang asik nonton televisi.
      “Pergi sama siapa Nak?” tanya Mama
      “Sendiri Ma, naik angkot” jawabku sambil melirik kearah Papa yang memang tidak pernah peduli padaku.
      “Yaudah, kalo gitu hati-hati ya”
Aku mengangguk dan berjalan pergi meninggalkan rumah.
      Suasana rumah Risa hari itu sangat ramai, ya jelas aja ramai Risa kan punya banyak teman disekolah ataupun dirumah. Aku duduk termenung di sudut taman. Kulihat Hesti sibuk mondar-mandir mengambil makanan yang disajikan.
      “Hei Vit, lo gak makan?” tanya Hesti yang telah duduk disampingku.
Aku menggeleng “Gue gak laper”
      “Wah rugi loh kalau lo gak nyoba makanannya. Ini enak loh” jawab Hesti sambil menunjukkan berbagai kue yang sudah diambilnya. Melihat kue-kue itu aja aku gak berselera. Hah!
      “Hesti, gue pulang sekarang ya”
Hesti langsung menghentikan makannya dan menatapku heran  “Loh kok gitu?”
      “Gue lagi males aja hari ini. Nih kado gue titip ke lo ya, jangan lupa dikasih ke Risa” ujarku.
      “Lo yakin mau pulang sendiri. Apa mau gue temenin”
Aku tersenyum dan menggeleng “Gak usah. Gue gak apa-apa kok”.
      Wajah Hesti tampak khawatir, namun sedetik kemudian wajah itu kembali ceria.
      “Ya udah kalau mau lo gitu. Hati-hati ya”
Aku mengangguk dan kemudian berlari meninggalkan keramaian rumah Risa.
      Sore hari jalanan dirumah Risa cukup sepi bahkan lebih tepatnya hening. Aku berdiri dibawah salah satu pohon mangga yang ada dipinggir jalan. Angkot yang ditunggu belum juga datang. Eh sekalinya datang udah hampir penuh tapi gak apalah yang penting bisa pulang.
      Angkot yang aku naiki melaju dengan kencang, meliuk-liuk dikeramaian jalan. Semua orang yang melihat geleng-geleng kepala bahkan ada yang sampai memaki-maki. Semua penumpang yang ada didalam mobil juga ikut-ikutan marah, bahkan ada ibu-ibu yang menasehati agar jangan ngebut dijalan. Tapi walaupun begitu angkot yang aku naiki ini tetap melaju dengan cepat. Saking cepatnya sampai-sampai ada sebuah truk yang akan berbelok dan mobil yang aku naiki tidak bisa berhenti, akhirnya kecelakaan itu tidak bisa dihindari lagi dan terjadilah tabrakan itu.
      Saat itu tubuhku terhempas kebelakang dan mengenai kaca yang pecah. Aku merasa tubuhku sangat sakit dan samar-samar mendengar suara orang-orang berkerumun namun saat itu pandanganku semakin gelap..gelap..dan gelap.
***
      “Apa?!” suara Bu Kasih memecahkan keheningan. Dari mata indahnya menetes sebutir air bening..Ia menangis. Pak Sofyan suaminya yang saat itu ada disana melihatnya dengan perasaan bingung karena saat itu istrinya menangis. Ia kemudian berjalan mendekati istrinya dan masih dilihatnya mata indah itu masih mengeluarkan air mata.
      “Pa, Vita…vita” ujarnya lirih
      “Hah, anak itu lagi. Apalagi sekarang ulahnya” ucap Pak Sofyan sinis
      “Vita kecelakaan Pa” ujar Bu Kasih dengan suara bergetar.
Mendengar hal itu Pak Sofyan tidak menunjukkan ekspresi apapun. Melihatnya Bu Kasih menjadi marah.
      “Apa Papa gak punya hati. Ingat Pa, Vita itu anak kandung Papa”
      “Praaanggg..” terdengar suara gelas pecah.
Bu Kasih dan Pak Sofyan kaget saat mendengar itu. Mereka langsung melihat kearah sumber suara dan disana telah berdiri Rio dan Lisa yang tertegun tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
      “Jadi…Vita itu adik kandung Rio Pa. Benar Pa?” tanya Rio. Pak Sofyan hanya diam dan tidak menjawab pertanyaan anaknya itu.
      “Pa, tolong jawab pertanyaan Rio ini Pa. Ma, tolong jawab ma” kini matanya beralih kearah Mamanya.
Bu Kasih menghela nafas dan mulai berkata “Iya Rio, Vita itu adik kandung kamu dan kakak kandung kamu Lisa” ujar Bu Kasih sambil menatap Rio dan Lisa.
      “Tapi..tapi itu kan gak mungkin Ma.” ucap Lisa tak percaya. Bu Kasih akhirnya harus menceritakan semua rahasia yang selama ini disimpannya sendiri. Rio menatap marah kepada Papanya.
      “Lalu sekarang Vita ada dimana Ma?” tanya Rio
      “Vita ada dirumah sakit. Sekarang Mama mau kesana, kalian mau ikut?”
Rio dan Lisa mengagguk berbarengan. Mereka mengikuti Bu Kasih dari belakang.
Pak Sofyan masih duduk termenung diruangan itu. Kesunyian membawanya ke masa lalu. Ya Vita adalah anak kedua dari istrinya yang telah meninggal karena itu Ia sangat membenci Vita. Sangat lama Ia duduk termenung mengenang masa lalu sampai Ia teringat kembali janjinya pada Anisa istri yang sangat dicintainya namun telah pergi kepangkuan Tuhan “Pa, kalau anak kita lahir dan Mama gak bisa nemenin Papa lagi..Papa mau kan menjaga anak-anak kita, memberikan mereka banyak cinta dan kasih sayang” kata-kata itu terus bergema diruangan sunyi itu. Benar saat itu Ia sudah berjanji untuk menyayangi dan mencintai anak-anaknya walau istrinya tidak ada didunia ini lagi, tapi kenyataannya Ia telah mengingkari janjinya pada Anisa. Setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya yang sayu. Ia menangis, menyesal karena telah mengingkari janjinya pada Anisa, menyesal karena telah membuang anak perempuan satu-satunya yang diberikan Anisa. Hari ini Ia benar-benar menyesal.
      Dokter-dokter terus keluar masuk ruang itu, ruangan dimana Vita kini terbaring tak berdaya, ruangan dimana Vita harus berjuang untuk hidup.
      “Dokter, bagaimana keadaan anak saya” tanya Bu Kasih
      “Saat ini kondisi pasien sangat kritis, dia mengalami luka yang cukup parah. Kaca menancap sangat dalam pada punggunngya, kami harus berhari-hati untuk mengeluarkannya dan lagi pasien juga kekurangan banyak darah. Saya minta Ibu berdoa saja agar operasi ini berjalan lancar”. Mendengar penjelasan dokter air mata Bu Kasih kembali mengalir. Ia seakan tak sanggup lagi berdiri hingga Lisa harus memeganginya. Sedangkan Rio merasa sangat bersalah, kenapa Ia tidak mau mengantar adiknya itu tadi, Ia sangat membenci dirinya saat ini.  Operasi yang dilakukan memakan waktu sekitar tiga jam. Bu Kasih, Rio dan Lisa masih menunggu diluar tanpa beranjak sedikitpun. saat sedang menunggu, mereka tidak menyangka kalau Pak Sofyan sudah berada disana.
      “Papa!” ucap Rio kaget . Pak Sofyan berjalan mendekati keluarganya.
      “Nak, maaf kan Papa karena tidak memberitahu kamu yang sebenarnya. Papa menyesal” ujar Pak Sofyan sambil menangis. Bu Kasih yang melihat berjalan menghampiri suaminya dan memeluk suaminya. Ia tahu saat ini suaminya benar-benar telah menyesali semua perbuatannya.
     Pak Sofyan melepaskan pelukannya dan menghapus sisa air matanya “Bagaimana keadaan Vita Ma?” tanya Pak Sofyan. Bu Kasih hanya menggeleng tidak tahu, karena dokter masih belum memberitahukannya keadaan putrinya itu. Ketika mereka duduk termenung diruangan Rumah Sakit itu tiba-tiba seorang dokter keluar dan memberitahukan mereka bahwa operasinya berjalan lancer dan pasien akan dipindahkan keruangan pemulihan. Sudah hampir tiga hari Vita tidak sadarkan diri. Pak Sofyan, Bu Kasih, Rio dan Lisa bergantian menjaganya.
      Saat itu malam hari, sinar lampu rumah sakit menyilaukan mataku. Aku buka perlahan demi perlahan mataku dan mulai mengerjap-ngerjapkannya. Seluruh tubuhku terasa sakit. Kulihat disamping ku sedang tertidur seseorang, kugerakkan tanganku dan membuat orang itu terbangun. Orang itu bangun dan kalian tahu siapa dia…Ya dia Papa.
      “Akhirnya kamu bangun juga Nak” ujarnya sambil mencium keningku. Aku masih belum mengerti kenapa Papa berubah tapi itu membuat ku bahagia, sedetik kemudian kulihat Mama, Kak Rio dan Lisa masuk keruangan itu dan tersenyum padaku. Aku tidak tahu kenapa tapi kecelakaan itu membuatku hidup kembali dan mendapakkan sebuah keluarga. Ya mereka adalah keluargaku yang akan selalu menyayangiku selamanya. They is my Family.