Kamis, 13 Maret 2014

Ran to Yuki



SATU
“Yuki” uap putih keluar dari bibirnya yang tipis. Seulas senyum mengembang dari bibir itu. Mata bulatnya berkali-kali mengerjab, tangannya menengadah keatas berusaha menampung salju yang turun. Kepalanya menengok keatas menatap langit gelap yang menurunkan salju. Sebutir gumpalan kecil berwarna putih jatuh tepat mengenai wajahnya. Dingin, itu rasa yang pertama kali ia rasakan, namun selanjutnya ia bisa merasakan kelembutan dan juga menjadi terasa begitu hangat. Matanya terus menatap ke arah langit mendung yang memberikan sensasi tersendiri saat memandangnya. Ia kembali menghembuskan napas panjang dan sekali lagi uap putih keluar dari mulutnya.
                “Ran”
Gadis itu menghentikan kegiatannya memandang langit. Keningnya mengerut, matanya sedikit ia picingkan melihat kearah orang yang tadi memanggilnya. Silau, tidak dapat terlihat. Orang itu berdiri tepat di mana matahari menyinarinya. Ran tidak dapat melihat siapa orang itu. ia tidak mengenalnya, atau ia mengenalnya namun tidak ingat siapa orang itu. Merasa penasaran, ia melangkahkan kakinya ke arah tempat orang itu berdiri. Kakinya perlahan demi perlahan berjalan mendekati orang itu, namun tiba-tiba tubuhnya terasa oleng, seperti orang yang sedang berada di atas kapal yang berlayar di atas ombak. Ran merasa kepalanya pusing, kakinya berhenti melangkah, ia terduduk. Kepalanya tertunduk dan saat ia mengangkat kepalanya lagi melihat orang itu, tiba-tiba penglihatannya mengabur, sosok tinggi itu sedikit demi sedikit menghilang dari pandangnnya.
                “Hei, Ran!” seorang gadis mengguncang-guncang tubuh Ran yang tertidur di meja. Ran membuka matanya perlahan dan sedikit mengerjab-ngerjabkannya. Ia langsung terduduk dan melihat sekeliling serta sosok gadis yang ada dihadapannya “Yukinya” serunya tanpa sadar dan masih memandang sekitarnya.
                “Yuki apa? Hei lo ngigau ya”
Ran menghentikan gerakan kepalanya yang masih melihat kekiri-kekanan. Ia menghela napas “ternyata cuma mimpi” Ran menguap dan tangannya menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal.
                Cindy masih menatap bingung dengan sahabatnya itu “memangnya mimpi apa sih?” tanya nya penasaran.
                Ran membenarkan duduknya, rambutnya yang tadi berantakan sudah rapi terikat. Bibirnya tersenyum mendengar pertanyaan Cindy. Ia senang jika ada yang bertanya tentang mimpinya. “tadi itu aku mimpi sedang turun salju. Aku berdiri di tengah-tengah tanah luas banget dan salju turun saat itu. indah banget deh pokoknya. Tapi sayang banget di sini gak mungkin ada salju turun” Ran kembali membayangkan mimpinya dan tiba-tiba ia berteriak dan berdiri “Aaahh!” Cindy yang duduk di sampingnya jadi kaget “kenapa lagi lo?”
                “Tadi itu dalam mimpi , rasanya ada yang manggilku”
                “Maksud lo?” Cindy jadi semakin tertarik dengan cerita sahabatnya ini. Ran kembali duduk dan Cindy mulai mendekatkan kupingnya untuk mendengar kelanjutan cerita dari Ran.
                “Aku gak tahu siapa, tapi nada suara orang itu saat manggil namaku itu..gimana gitu..”
                “Gimana? gue gak ngerti maksud lo, jelasin yang lebih rinci” desak Cindy
                “Saat orang itu manggil namaku rasanya ada perasaan rindu” jelasnya singkat “Tapi aku gak tahu siapa orangnya”
                “Memangnya gak keliatan tuh orang?”
Ran menggeleng dengan cepat “gak keliatan. Soalnya tuh orang berdiri tepat di pantulan cahaya matahari, jadi ya gak keliatan dan pas aku mau lihat lebih dekat  , kamu malah bangunin aku”
                “Mungkin orang yang udah lama banget gak lo temuin kali” kata Cindy lagi. Ran hanya mengerdikkan bahunya. Kalau memang orang yang sudah lama tidak ia temui , kemungkinan besar ia tidak akan bisa mengingat itu. Ran bangkit dari sofa dan berjalan menuju jendela yang ada di samping sofa itu. Matanya melihat pemandangan Jakarta di sore hari. Tetap saja sama, macet dan terasa sesak.
                                   
DUA
Langit sore Jakarta terlihat mendung. Pilot baru saja mengatakan untuk mengenakan kembali sabuk pengaman karena sebentar lagi pesawat akan mendarat. Pemuda itu mengenakan sabuk pengamannya dan kembali menatap langit. Banyak kenangan yang terdapat di kota itu. Kenangan masa kecil bersama orang tua dan juga sahabat sekaligus cinta pertamanya yang telah ia tinggalkan di kota itu. kini ia kembali ke Negara yang selama ini sudah ditinggalkannya untuk urusan pekerjaan dan juga untuk mencari kembali cinta pertamanya. Pemuda itu tersenyum dan bergumam “aku akan menemukanmu” sebelah tangannya memegang sebuah foto masa kecilnya, didalam foto berdiri seorang gadis kecil tengah tersenyum dengan manis di sampingnya. Pemuda itu tersenyum lagi dan kembali menatap keluar jendela melihat awan yang bergerak secara teratur yang dilewati oleh pesawat yang saat ini sedang di tumpanginya.
“Seizawa san” panggil seseorang yang duduk di sampingnya. Pemuda itu pun menoleh kesamping “Mm” jawabnya.
“Ini semua data yang anda minta kemarin, semuanya sudah saya urutkan sesuai dengan tahun dan bulannya ” pria disampingnya itu memberikan data-data seluruh laporan keuangan dan juga aset-aset kantor yang ada di indonesia. Pemuda itu membaca setiap detail dari kertas-kertas yang ada ditangannya, sesekali kepalannya mengangguk merasa ada keganjilan dalam data-data tersebut.
“Data-data ini banyak keganjilan” katanya sambil memberikan kembali berkas-berkas yang ada ditangannya.
Setelah memberikan kembali berkas-berkas di tangannya, pemuda itu kembali menatap keluar jendela. Matanya saat menatap langit Jakarta terlihat begitu sendu.
****

Minggu, 25 November 2012

Bukan Putri Salju



“Cermin-cermin di dinding, siapakah yang paling cantik di muka bumi ini”
            “Denialah yang paling cantik di muka bumi ini” kata Denia dengan suara yang dibuat seperti suara penyihir, setelah tadi ia mengajukan pertanyaan sendiri di depan cermin yang tergantung di dinding kamarnya. Selesai berucap seperti itu, gadis itu langsung tertawa sendiri mengingat lagi pertanyaan dan jawaban konyol yang baru saja ia ucapkan. Sekali lagi ia menatap wajahnya yang terpantul didalam cermin. Denia kembali menghela napas. Denia..Denia.. mana mungkin lo itu cewek paling cantik di buka bumi ini, pastilah ada yang lebih cantik lagi dari lo..sadar Denia, lo itu bukan Putri Salju yang cantiknya ngalahin Ratu jahat. Denia berkata didalam hati.
            “Ya ampun Denia, kamu itu lagi ngapain sih, masih aja berdiri didepan cermin. Mau berapa lama juga kamu pelototin wajah kamu dicermin gak akan ada yang berubah. Udah sana pergi kesekolah, Papi udah nungguin tuh”. Denia yang masih asik menatap wajahnya dicermin kaget ketika Mami nya sudah ada di depan pintu kamarnya dan mengomel seperti biasanya. Denia yang sudah sangat hapal apa saja kata-kata Mami kalau sedang memarahinya langsung menyambar tas sekolah yang tergeletak diatas kasur dan langsung ngeloyor kabur ketempat Papi yang sudah menunggunya didalam mobil tapi tetap tidak lupa berpamitan terlebih dahulu dengan Mami.
            Denia Putri Handoyo, putri tunggal keluarga konglomerat Handoyo ini dalam urusan materi ia tidak pernah kekurangan apapun. Ayah yang tampan seorang pengusaha kaya dan terkenal sampai keluar negeri dan Ibu mantan model yang cantiknya luar biasa selalu memberikannya perhatian dan setiap keinginannya pasti akan terpenuhi. Tapi dalam hidupnya hanya ada satu masalah yaitu ia tidak punya wajah cantik seperti wajah Ibunya. Bahkan sampai ada tetangga yang mengatakan kalau ia sebenarnya bukan anak kandung kedua orang tuanya, gimana gak sedih di bilang seperti itu. Kalau dulu, saat Denia mendengar orang berkata seperti itu, ia akan langsung menangis dan marah-marah sendiri dikamarnya. Tapi sekarang hal itu sudah tidak lagi jadi beban untuk gadis itu. sekarang ia masa bodoh dengan apa yang dikatakan orang, toh jelas-jelas dia anak kandung kedua orang tuanya dan itu sudah terbukti dengan tes DNA yang pernah dilakukannya dulu ketika ia masih tidak percaya dengan perkataan orang tuanya. Denia menatap jalanan Jakarta yang memang selalu macet dan jika ingin tidak macet ya jangan naik mobil alias jalan kaki saja, dijamin deh gak ada macet-macetnya, tapi yang ada kaki kalian yang akan kena sialnya. “Nia” panggil Papi yang duduk disampingnya.
            “Ya Pi” jawab denia masih dengan mata menatap ke Jalanan.
            “Papi dengar minggu depan sekolah kamu ada pementasan. Kelas kamu mau pentas apa nak?” tanya Papi semangat. Denia yang baru ingat soal itu langsung panik, ia lupa kalau harus memberitahu ketua kelas jawaban atas permintaan temannya untuk dia menjadi pemeran utama dalam pementasan. Sebenarnya Denia tidak akan menolak kalau perannya itu biasa-biasa saja, tapi masalahnya kelas nya akan mementaskan cerita Putri salju tapi bukan Putri salju, aneh kan, makanya Denia belum memberikan jawaban atas peran yag akan dimainkannya. Bagi Denia jika ia mengiyakan peran tersebut untuknya, itu sama saja ia memberitahukan kepada semua orang tentang hidupnya. “Itu...eng” Denia bingung harus menjawab apa.
            “Itu..cerita Putri salju Pi” katanya pelan tidak pasti “Eh tapi bukan cerita Putri salju seutuhnya sih Pi..ng..gimana ya..” Denia semakin bingung menjelaskan. Papi yang masih menunggu jawabannya tersenyum melihat anaknya yang sedang kebingungan. Denia yang masih bingung ikut nyegir saat melihat Papinya tersenyum.
***
            “Denia” panggil Asti ketua dalam pementasan di kelasnya. Denia menyembulkan kepalanya dari balik tangannya yang masih terlipat di atas meja. “Mm” ucap Denia dengan wajah mengantuk. “Lo mau kan jadi Putri Salju di pementasan kali ini” Denia masih belum menjawab.
            “Iya Nia, mau ya, cuma lo yang pas meranin Putri Salju” sahut temannya yang lain, bahkan teman-teman yang tadinya asik sendiri ikut memohon-mohon padanya.
            Cocok apa maksudnya nih, apa maksud mereka tampang gue ini cocok jadi orang tertindas ya, atau karena cerita ini bukan cerita Putri Salju jadi tampang gue ini cocok gitu. Denia menggerutu di dalam hatinya. Masih dengan tampang cemberut ia mengangguk pelan, menyetujui permintaan teman-temannya. Yah tidak apalah membantu sesekali, bantinnya lagi.
            “Thanks banget Nia, oiya jadwal latihan dan naskahnya nanti pas pulang sekolah gue kasih ke lo ya” Asti menepuk pundak Denia dan kemudian berlalu dengan tampang girang kembali ke bangkunya. Setelah Asti kembali ke asalnya, Denia kembali menghela napas. Ia kembali berpikir apa keputusannya ini tepat atau tidak. Apalagi pementasan ini akan di tonton semua teman-teman dari kelas sebelah, dan itu berarti Cristian juga akan menyaksikan pentasnya ini. Denia mengacak-acak rambutnya sendiri, tandanya ia sedang galau.
            Seperti yang dijanjikan, setelah sekolah usai Asti memberikannya jadwal latihan dan juga naskah yang harus dihapalnya. Sambil menunggu supirnya menjemput, Denia menyempatkan dirinya membaca naskah yang baru didapatkannya. Pertama-tama ia membaca judul naskah itu ‘Bukan Putri Salju’, Denia hampir tertawa saat membaca judul itu. Ia tidak pernah mendengar ada pementasan dengan judul seperti itu, itu berarti ini pertama kalinya cerita ini akan dipentaskan dan ia pula pemeran utamanya. Kemudian ia membaca bagian awal cerita itu, hampir sama dengan cerita aslinya, namun ada yang membedakan cerita ini dengan cerita aslinya yaitu di sini tidak ada Ibu tiri yang jahat dan permasalahannya ada pada diri si Putri salju sendiri. Semakin lama ia membaca naskah itu, ia jadi semakin tertarik. Ternyata cerita ini tidak seburuk yang ia pikirkan. Menurutnya cerita itu unik dan menarik. Selesai membaca naskah itu, ia kemudian mulai mendalami karakter si Putri salju sendiri. Ternyata tidak mudah mendalami karakter si Putri salju, apalagi karakter Denia berbanding terbalik dengan karakter yang akan diperankan nya. “Baiklah gue akan berlatih dulu dirumah” katanya pada diri sendiri.
***
            Pentas seni yang sudah hampir dekat ternyata menjadi perbincangan siswa-siswa di sekolah Denia saat ini, apalagi pentas yang akan dimainkan oleh Denia, ternyata sudah tersebar keseluruh kelas.
            “Eh, Ris, lo udah dengar kan kalau anak 3 Ipa 3 mau buat pentas tentang Putri salju” ujar Nadine salah seorang anak 3 Ipa 1 pada sahabatnya Prisca si putri pujaan para pangeran di sekolah itu. “Lo salah, yang benar itu Bukan Putri salju” ralat Prisca dengan nada meremehkan.
            “Untung kita gak jadi pentasin Putri Salju” celetuk temannya yang lain.
            “Eh ya denger-denger yang jadi Putri salju si Denia. Kok bisa ya, tapi cocok sih tampang dia sama judul ceritanya” Nadine dan Prisca tertawa meremehkan, teman-teman yang lain pun ikut tertawa seperti mereka. Tapi dari semua murid kelas itu hanya satu yang tidak tertawa. Satu orang cowok tampan yang dari tadi mendengarkan perbincangan cewek-cewek dikelasnya itu hanya geleng kepala. Ia tidak tertarik untuk meremehkan siapapun, yang jelas menurutnya pentas ’Bukan Putri Salju’ itu pasti akan menarik semua siswa sekolah itu. Lagi pula mereka juga tidak tahu ceritanya seperti apa kan. Cowok tampan itu lebih memilih untuk keluar dari kelasnya dari pada kupingnya panas mendengar cewek-cewek dikelasnya menggosip.
            “Yan, lo mau kemana?” Cristian si cowok tampan tadi yang hendak berjalan keluar langsung berhenti saat Yuda sahabat karibnya bertanya dengan tiba-tiba saat ia hendak keluar. “Gue mau ke perpus. Kenapa lo mau ikut?” jawabnya santai
Yuda langsung menggeleng “Gak ah, lo tahu kan gue paling alergi kalo ke perpus. Tapi kalo lo ajak gue ke cafe sih oke-oke aja” jawabnya sambil cengengesan.
            “Ye lo tu ya, sekali-kali harus ke perpus,biar otak lo tu nambah ilmu dikit” katanya lagi dan dibalas oleh Yuda dengan cengirannya yang khas. Setelah berkata seperti itu, Cristian langsung cabut ke perpus yang berada di lantai tiga di gedung sekolah itu. Perpustakaan adalah tempat yang paling tepat unutk menyendiri atau untuk mencari ketenangan, kenapa? Tentu saja karena perpustakaan adalah tempat yang tenang di mana bila berada didalamnya kita tidak boleh berisik sama sekali. Nah inilah yang dibutuhkan dua anak manusia ini yaitu Cristian dan Denia, yang satu butuh mendinginkan kupingnya yang terasa panas bila mendengar gosip-gosip yang tidak enak dan yang satu lagi butuh ketenangan agar dapat berkonsentrasi menghapal dialog naskah yang akan dimainkannya.
            Denia sedang duduk di pojok perpustakaan. Sesekali ia mengacak-acak rambut panjangnya yang hitam dan halus itu. bibirnya yang tipis berulang kali melapaskan kata-kata yang ada didalam naskah, namun selalu saja salah. Merasa lelah terus mengulang hal yang sama, Denia terduduk lemas sambil menatap naskah yang ada di depan matanya. “Hah! Kenapa dari tadi gue gak bisa-bisa hapal ini dialog sih! Apa otak gue udah karatan ya, sampai dialog gini aja gue gak bisa hapal” Denia menggigit ujung bibirnya. Merasa tidak ada gunanya lagi ia latihan sendiri, Denia menempelkan wajahnya ke atas meja dan memejamkan matanya. Tanpa disadari gadis itu, sedari tadi ada orang yang menantapnya dengan menahan tawa dibibirnya.
            Bukan masksud Cristian untuk tertawa ataupun meremehkan gadis itu. Tapi sejak ia masuk kedalam perpustakaan dan menatap pojok ruangan itu, bibirnya tidak henti untuk tersenyum menahan tawa. Saat masuk tadi ia sempatkan melihat seluruh penjuru ruangan bermaksud mencari tempat yang paling tenang dan seketika matanya berhenti tepat di sudut ruangan itu. Di sana ia melihat seorang gadis tengah berbicara sendiri dan tingkahnya yang konyol membuat Cristian tersenyum menahan tawa. Merasa sedikit terhibur Cristian melangkahkan kakinya menuju pojok ruangan itu. ia berhenti tepat di depan meja gadis yang sepertinya sedang tidur. Cristian menarik bangku dan duduk dihadapan gadi itu. Tidak ada reaksi, sepertinya gadis itu belum menyadari kehadirannya. Sesaat matanya tertuju pada naskah yang masih terbuka lebar di tangan gadis itu. Pelan-pelan ia menarik naskah itu dan membacanya. “Bukan Putri Salju” gumamnya pelan dan ternyata suaranya itu membangunkan gadis yang tertidur dihadapannya itu. Denia membuka matanya saat seseorang bergumam pelan di dekatnya. Ia hapir terlonjak kaget saat melihat Cristian sudah ada dihadapannya dan sedang memegang naskah pementasannya. “Cristian!” katanya ragu sambil mengucek-ngucek matanya.
            “Oh..Lo kenal gue?” Tanya Cristian tiba-tiba.
Denia mengangguk “Iya, tapi bukan gue aja kok yang kenal lo, seluruh siswa di sekolah ini pasti kenal lo. Lo kan terkenal banget” kata Denia antusias.
            “Mm, berarti lo Denia ya”
Denia melongo saat Cristian menyabut namanya. Apa dia juga terkenal di sekolah ini ya, kok sampai Cristian tahu namanya.
            “Lo tahu nama gue dari mana?” tanya Denia penasaran. Cristian mengarahkan jarinya menunjuk kearah naskah yang ada di tangan kirinya “Dari sini” katanya sambil tersenyum.
            “Maksudnya?” Denia masih belum mengerti.
            “Ini, disini kan tertulis nama lo” tunjuknya lagi. Mata Denia mengikuti kemana arah jari Cristian dan ia baru sadar kalau tadi menuliskan namanya di sudut kanan atas naskah itu. “Ah iya..haha” wajah Denia sesaat memerah seperti kepiting rebus karena malu dan hal itu membuat Cristian kembali menahan senyum.
            Dalam sekejab Denia dan Cristian sudah menjadi teman akrab. Hari berikutnya mereka kembali bertemu di perpustakaan dan terkadang Cristian membantu Denia menjadi lawan mainnya agar gadis itu mudah menghapal dialognya. Namun tanpa mereka sadari, kebersamaan mereka sudah menjadi gosip hangat di setiap kelas dan gosip itu akhirnya sampai juga di telinga Prisca. Saat mendengar gosip itu cewek satu ini langsung panas dan mencari tahu sendiri kebenarannya. Dan sekarang cewek itu sudah berdiri di depan perpustakaan tengah menatap marah kearah pojok ruangan dimana Denia dan Cristian berada. Merasa emosi cewek itu langsung membalikkan badannya kembali menuju kelas. Ia sudah merencanakan sesuatu dan itu akan membuat hidup Denia susah. Hari berikutnya, Denia masuk seperti biasanya namun ada yang aneh dari tatapan teman-teman sekolahnya saat ia baru melangkah masuk kedalam gerbang sekolah. Tatapan mereka tidak seperti biasanya, tatapan mereka seperti benci padanya. Denia yang tidak tahua apa-apa tidak memusingkan hal itu. “Hei Nia” Asti yang sudah datang duluan merangkul pundak gadis itu dan berbicara dengan berbisik “Ada yang nyebarin gosip aneh tentang lo” katanya lagi.
            “Gosip apa?” tanya Denia penasaran. Asti menempelkan bibirnya ke arah kuping Denia dan berbisik “Katanya lo pake pelet buat deket dengan Cristian”
            “Apa!?” pekik Denia. Wajahnya yang tadi tenang kini hampir merah kerena kesal. Ia berusaha menenagkan dirinya dengan mengatur napasnya. “Siapa yang nyebari gosip kayak gitu” tanya Denia marah. Asti yang tadi kaget saat denia berteriak didekat kupingnya langsung memberikan jawaban “Si Prisca” ujar Asti. Mendengar nama itu, Denia langsung menaruh tasnya dan berjalan keluar kelas menuju kelas Ipa 1. Disana ia langsung bertemu dengan Prisca dan di hadapan semua orang Denia memarahi Prisca yang seenaknya sudah mencemarkan nama baiknya.
            Saat itu Denia menantang Prisca, kalau ia tidak sukses dalam pementasan kali ini Prisca boleh tidak meminta maaf padanya, tapi jika ia sukses dalam pentas kali ini, ia ingin Prisca meminta maaf padanya. Kata-kata itu ia ucapkan di depan Cristian dan teman-teman lainnya.
            Di hari pementasan, Denia benar-benar membuktikan kata-katanya. Ia sukses memerankan Putri salju yang berbeda dan namanya langsung dikenal oleh seluruh siswa di sekolah itu. Cristian yang menyaksikan pementasan Denia tersenyum puas dan bangga pada gadis itu. Sedangkan Prisca merasa kalah oleh gadis yang berwajah biasa-biasa saja itu dan harus meminta maaf atas segala gosip yang dibuatnya. Lalu dihari-hari biasa, setiap Denia lewat orang akan berbisik dan berkata ’Itu Denia si Putri Salju yang optimis’.

Jumat, 16 November 2012

Heart part 2



Chapter 6
                Tae Yong masih berpose seperti yang diperintahkan oleh PD Yun. Kamera masih mengambil foto-foto pemuda itu. Jung Su juga sibuk memilih-milih pakaian yang akan dikenakan Tae Yong untuk pemotretan. Sedangkan di pojok lain, Alice duduk sendirian sambil melihat-lihat berlangsungnya pemotretan. Alice benar-benar mengerjakan apa yang sudah ia katakan. Pagi-pagi sekali gadis itu sudah ada didepan pintu rumah Tae Yong, sehingga membuat pemuda itu benar-benar terkejut. Dan kini gadis itu sibuk mencatat setiap kegiatan pasiennya itu. Sesaat ia termenung dan juga tersenyum. Hebat sekali dirinya, pagi-pagi sudah harus bekerja, dan lihatlah dirinya sekarang sudah mirip seperti manager saja. Alice tertawa sendiri dengan apa yang dipikirkannya. Orang-orang yang ada disana menatap aneh pada gadis itu. Alice juga bisa melihat ada mata-mata aneh yang memandangnya. Mungkin mereka berpikir, gadis gila dari rumah sakit mana yang Tae Yong bawa ketempat itu. Pikiran itu benar-benar membuatnya tertawa.
                Tae Yong tidak konsentrasi dalam pemotretan kali ini. Matanya terus menatap pojok ruangan empat kali enam itu. Ia terus menatap gadis yang sudah menganggu tidur nyenyaknya pagi ini. Matanya seperti sinar laser yang siap menghanguskan lawan-lawannya. Sesaat Tae Yong memicingkan matanya melihat tingkah aneh gadis itu. Ia juga menggeleng-gelengkan kepalanya. Aneh, unik dan menarik, itulah yang ia pikirkan saat melihat gadis itu. Setelah PD Yun mengatakan selesai, Tae Yong langsung berjalan menuju ke tempat Alice. Gadis itu masih melihat kesana-kemari dan tertawa sendiri.
                “Hei!”
Alice terkesiap dan terlompat kaget “Ah!” matanya memandang Tae Yong kesal.
“Kenapa? Apa aku mengejutkan mu?” Tae Yong tersenyum senang, sudah dua kali dalam hari ini ia membuat gadis yang ada dihadapannya itu kesal dan mengumpat tidak jelas.
Alice mendengus kesal “Kau! sejak kapan ada disini? Aku tidak mendengar suara langkah kaki mu”
                “Tentu saja kau tidak dengar” Tae Yong tersenyum pada kru-kru yang menyapanya “disini kan berisik dan juga kenapa kau tertawa sendiri seperti itu?” lanjut Tae Yong sambil bertanya.
                “ Kau sudah selesai?” Tanya Alice tanpa menjawab pertanyaan dari Tae Yong.
                “Jawab dulu pertanyaan ku”
                “Terserah aku kan” Alice bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti Tae Yong yang sudah terlebih dahulu berjalan keluar dari tempat itu serta menghampiri Jung Su yang masih berbicara pada PD Yun.
                Hyeong, ayo kita makan!” Jung Su menghentikan pembicaraannya dan menolehkan wajahnya kearah Tae Yong “Tunggu sebentar!” katanya dan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan PD Yun.
                “Aku tunggu di mobil saja kalau begitu” Jung Su mengangguk dan kembali ke topik pembicaraannya dengan PD Yun. Tae Yong berbalik dan kembali berjalan keluar. Langit siang itu cerah, salju tidak turun dan matahari bersinar terik, namun tetap saja tidak hangat. Tae Yong berjalan menuju mobilnya yang terparkir didepan halaman gedung studio itu, dibelakangnya Alice mengekor. Gadis itu menatap pria yang kini sudah duduk didalam mobil Van hitam itu dengan seksama. Apa benar pria ini punya penyakit jantung, pasti ada kesalahan pada pemeriksaan yang dilakukan dokter Choi. Coba saja lihat, sikapnya itu menjengkelkan sekali! Alice mendengus dan memalingkan wajahnya kearah lain.
                Sunyi! Tidak ada suara. Ya! Kedua orang yang ada didalam mobil Van hitam itu tidak ada yang bicara satu sama lain. Mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing bahkan saat Jung Su masuk kedalam mobil itu, kedua orang itu masih dalam pikiran masing-masing.
                “Ah! Dingin sekali” ucap Jung Su sambil membuka pintu mobil dan memandang kearah dua orang yang sudah duduk manis didalamnya. Tidak ada yang menanggapi. Jung Su semakin heran, apa dirinya ini kasat mata, hingga dua orang yang duduk di bangku belakang ini tidak melihatnya atau bahkan mengomentari perkataannya.
                Merasa bosan melihat dua orang yang sepertinya tidak ingin bicara itu, akhirnya ia putuskan untuk buka suara “Nah, kita akan makan dimana?” Jung Su melirik Tae Yong melalui kaca spion. Tidak ada reaksi.
                Yaa!” teriak Jung Su. Tae Yong dan Alice terkejut dan sama-sama memandang pria yang berada di depan kemudi itu.
                “Apa?”
                “Aku tanya, kita akan makan dimana? Bukannya tadi kau bilang ingin makan”
Tae Yong memutar bola matanya. Ia berpikir. “ditempat biasa saja Hyeong” katanya lagi setelah lama berpikir.
***
                Alice duduk diam melihat kedua orang pria yang ada dihadapannya itu. Sebenarnya ia sedikit kesal karena merasa tidak dianggap oleh kedua pria itu. Apa mereka pikir dirinya ini hantu sehingga mereka tidak bisa melihatnya.
Tae Yong menatap sekilas gadis yang duduk dihadapannya dan sedang mengaduk-aduk makanannya itu. Entah kenapa semakin melihat wajah gadis itu ia semakin merasa pernah bertemu dengannya.
“Alice ssi” panggil Tae Yong
Gadis itu menghentikan tangannya mengaduk-aduk makanan dan mendongakkan kepalanya menatap Tae Yong “hm” jawabnya.
“Apa kita pernah bertemu?” tanya Tae Yong
Alice memutar bola matanya, mulai mengingat apa pernah bertemu dengan pria yang ada dihadapannya ini atau tidak. Sedetik kemudian ia menggeleng “Aku rasa tidak pernah”
“Benarkah?!” Tae Yong memiringkan sedikit kepalanya “tapi rasanya aku pernah melihatmu” ucapnya sangat yakin. Alice mengerdikan bahunya menanggapi perkataan Tae Yong. Gadis itu mulai memakan makanan yang sudah dari tadi diaduknya. Di sisi lain Jung Su melahap makanannya dengan nikmat sedangkan Tae Yong masih memandangi gadis yang duduk dihadapannya itu dengan berbagai macam pikiran.

Chapter 7
                Son-bae[1]!” Kang Hani berteriak dan berlari kearah seorang pria yang selama ini dikenalnya. Pria itu berhenti dan menoleh kesamping melihat seorang gadis tengah berlari kearahnya. Seulas senyum tersungging dibibirnya.
                “Hani ya! Sudah lama tidak bertemu” sapa pria itu masih sambil tersenyum. Kang Hani berdiri dengan napas yang masih terengah-engah. “Kau tetap tidak berubah ya” ucap pria itu lagi.
Kang Hani tertawa dan kembali memperhatikan pria dihadapannya itu “Son-bae, juga tidak berubah” ia memandangi pria itu dari ujung rambut sampai ujung kakinya “tetap sama seperti dulu” ucapnya lagi dan tersenyum. Pria yang bernama Kang Min Ho itu pun ikut tersenyum.
“Kapan son-bae tiba? Kenapa tidak memberitahu ku, aku kan bisa menjemput mu”
“Aku baru sampai kemarin. Mianhae, aku tidak sempat memberitahu mu”
Hani, mendesah dan kembali tersenyum “Dwaesseo[2]. Lalu kenapa tiba-tiba kembali ke sini?”
Min Ho mengerdikkan bahunya “Choi songsaenim memanggil ku untuk kembali. Aku juga tidak tahu ada apa” Min Ho kembali berjalan dan Hani mengikuti langkahnya dari belakang. Mereka berbincang-bincang sambil berjalan menuju kearah ruangan dokter Choi. Sesampainya didepan pintu ruangan dokter Choi, mereka berpisah. Hani terus berjalan menuju ruang dosen lainnya.
Min Ho mengetuk beberapa kali pintu ruangan itu, dari dalam terdengar suara menyuruhnya masuk.
Songsaenim” ucap Min Ho sambil menjabat tangan dokter Choi. “Kang Min Ho, selamat datang” ucap dokter Choi sambil mempersilahkan Min Ho duduk.
“Bagaimana pekerjaan mu disana?” tanya dokter choi yang masih berdiri.
“Menyenangkan” kata Min Ho sambil tersenyum. Dokter Choi mengambil sebuah buku dan berjalan menghampiri Min Ho “Benarkah, kalau begitu maaf kan aku yang sudah memanggil mu tiba-tiba dan meminta untuk kembali ke sini” ucap dokter Choi sambil duduk di hadapan Min Ho.
Min Ho merasa tidak enak saat mendengar perkataan dokter Choi “Tidak begitu Songsaenim, saya bisa bekerja disana juga karena bantuan anda” kata Min Ho “lalu apa yang ingin anda bicarakan?” lanjut Min Ho.
“Lihatlah ini” dokter Choi memberikan sebuah gambar scan pada Min Ho “lalu kau sama kan dengan yang ada disini” kemudian memberikan sebuah buku pada pria itu.
“ini..” Min Ho menatap gambar scan itu dan kemudian kembali menatap dokter Choi.
“Benar, memang belum pasti tapi aku takut apa yang ada dipikiranku akan terjadi. Karena itu aku memanggil mu kesini” jelas dokter Choi
Min Ho kembali menatap gambar scan itu dan kemudian mengangguk “kalau boleh tahu siapa yang memiliki gambar scan ini?” tanya Min Ho
“Kau pasti mengenalnya, dia aktor muda yang sedang naik daun saat ini, namanya Kim Tae Yong” jawab dokter Choi
Min Ho tertegun saat mendengar nama itu. Sekelebat bayangan muncul di ingatannya, Seraut wajah cantik sedang tersenyum muncul. Pikirannya kembali kemasa lalu dimana ia masih bisa melihat gadis itu tersenyum, tertawa , menanggis bahkan marah padanya. Sudah hampir tiga tahun ini ia bisa melupakan gadis itu, tapi kini, kenapa ia harus bertemu dengan orang yang akan mengingatkannya dengan gadis itu. Apa ini nasib? Atau hukuman karena telah melupakan gadis itu.
“Min Ho ssi” Min Ho kembali tersadar saat suara dokter Choi memanggil namanya. Ia kembali menatap dokter tua itu “ah, Ye Songsaenim” ucapnya cepat.
“Bagaimana? Apa kau bisa membantuku?”
Min Ho terdiam sejenak dan menghela napas, kemudian Ia mengangguk mantap “Baiklah, aku akan berusaha membantu anda Songsaenim” ujarnya pasti. Jawabannya ini disambut gembira oleh dokter Choi dan dokter tua itu mengangguk sambil tetap tersenyum.
Selesai berbicara dengan dokter Choi, Min Ho pamit keluar dari ruangan itu. Ia berjalan melalui lorong kampus yang dulu sering dilaluinya. Sesekali ia memandangi tempat-tempat yang memang dulu pernah meninggalkan banyak kenangan baginya. Mengingat kenangan-kenangan itu membuat seulas senyuman di bibirnya.
Son-bae! Mwo haeyo[3]?” Hani berdiri dibelakang Min Ho yang masih menatap ruang kelas yang sudah kosong.
Eo[4],aniyo keunyang[5]...” Min Ho menoleh kebelakang kemudian menunjuk kearah kelas kosong, mata Hani mengikuti kemana tangan Min Ho menunjuk. Mereka berdua termenung menatap ruang kosong itu, ingatan mereka berlari kemasa lalu dimana mereka selalu tertawa bersama, mengerjakan tugas bersama dan masih banyak lagi. Namun kini saat menatap ruang itu ada sesuatu yang hilang, kini mereka tidak lagi bersama. Orang yang mereka sayangi tidak lagi bisa bersama dengan mereka.
“Apa kau sudah melupakannya son-bae?” Hani membuka suara memecahkan kesunyian di ruangan itu.
“Mwo[6]?”
“Ana eonni, apa kau sudah melupakannya Son-bae?” ulang Hani
Min Ho mendesah, bibirnya menyunggingkan sulas senyum tapi bukan senyum bahagia. Ia menggeleng pelan dan menatap Hani yang kini juga sedang menatap dan menunggu jawabannya.
“Apa kau sudah melupakannya?” tanya Min Ho. Hani langsung menggeleng dengan cepat “Aku tidak akan pernah melupakannya. Dia adalah teman dan juga kakak terbaik yang pernah aku miliki” ucap Hani.
“Benar, dia juga gadis terbaik yang pernah aku miliki” ujarnya pelan namun penuh dengan ketulusan. Mereka berdua kembali termenung, sedetik kemudian mereka kembali berjalan di lorong yang kini telah sepi itu.


Chapter 8
                “Shin Ae ssi” panggil seorang wanita bertubuh kurus yang di kantong kirinya tersemat kartu karyawan sebuah perusahaan production house. Wanita yang bernama Bong Shin Ae itu menghentikan langkah kakinya dan menoleh kebelakang. Seulas senyum terukir dibibirnya yang tipis.
                Eo, eonni, ada apa?” Shin Ae memanggil wanita yang bernama Han yoo jin itu dengan panggilan eonni, karena wanita itu lebih tua empat tahun darinya.
                Yoo Jin memberikan sebuah amplop coklat pada Shin Ae “Ini, tadi sutradara Jang memintaku memberikan ini pada mu. Oh ya dia juga bilang untuk kau menghubunginya” ucapnya “Nah, aku pergi dulu ya” Yoo jin berjalan meninggalkan Shin Ae yang masih menatap bingung dengan amplop coklat yang ada di tangannya.
                “Apa ini” Shin Ae berjalan keluar sambil membuka amplop tadi dan melihat isinya. Ada sebuah naskah didalamnya, Shin Ae membaca bagian awal naskah itu. “cih” Ia tersenyum sinis saat membaca awal naskah itu dan kemudian membuangnya ketempat sampah yang ada diluar ruangan itu.
                Eomeo![7] Sutradara Jang, kau lihat itu, dia membuangnya” ucap Yoo Jin dengan terkejut. Sutradara Jang hanya tersenyum melihat tingkah Shin Ae yang tidak pernah berubah dari dulu.
                “Kenapa dia tidak pernah berubah sih, aku heran. Dia pikir dirinya itu hebat apa !” ucap Yoo Jin kesal. Sutradara Jang memegang pundak Yoo Jin berusaha menenangkan wanita kurus itu “Sudahlah, tidak usah diambil pusing. Nanti dia sendiri yang akan datang menemui kita” ujarnya masih sambil menenangkan Yoo Jin. Mereka memandang wanita yang baru saja keluar itu dengan berbagai ekspresi.
                Shin Ae berjalan menjauhi gedung itu menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari sana. Ia mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan menelepon seseorang. Ia masih berbicara dengan orang yang ditelponnya dan setelah selesai berbicara barulah ia mengemudikan mobilnya keluar dari area gedung Production House itu.
                Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang melewati area pertokoan didaerah Myeong-Dong[8]. Ia berhenti disalah satu toko yang ada disana dan membeli beberapa souvenir, setelah itu ia kembali melanjutkan perjalanannya menuju  perumahan elit Cheongdam-dong di kawasan Gangnam ,Seoul. Mobil biru metalik itu berhenti di depan rumah mewah bercat kuning gading. Shin Ae keluar dari dalam mobilnya sambil membawa beberapa tentengan, bibirnya tersenyum menatap rumah mewah itu. Ia berjalan kesana dan menekan bel yang ada disamping pintu pagar besi itu. Beberapa menit kemudian pintu terbuka. Shin Ae berjalan masuk kedalam rumah bergaya eropa tapi masih ada sedikit aksen korea itu. Gadis itu berdiri didepan pintu dan tersenyum.
                Annyeong haseyo[9], ajumma[10]” ucap Shin Ae sambil tersenyum
Wanita paruh baya yang membukakan pintu itu sedikit terkejut melihat wanita muda yang kini berdiri dihadapannya “Eomeo, nuguya[11], Shi Ae ya?” wanita paruh baya itu menyambut Shin Ae dengan hangat.
                Ne, ajumma” jawab Shin Ae. Gadis itu langsung memberikan barang yang dibawanya kepada wanita paruh baya yang ternyata adalah Ibu Tae Yong, Yoon Tae Hee.
                “Sudah lama sekali kau tidak kesini, bagaimana kabarmu?” sapa Tae Hee
                Shin Ae sedikit tertawa dan tersipu-sipu saat Tae Hee bertanya padanya “Aku baik-baik saja” ucapnya singkat. Matanya kemudian memandang sekeliling rumah itu seperti mencari sesuatu dan hal itu disadari oleh Tae Hee “Tae Yongi tidak tidak tinggal disini” kata Tae Hee mengetahui isi pikiran Shin Ae.
                oh, geurae[12]!” ucap Shin Ae kecewa. Tae Hee mengangguk mengiyakan.
                Tae Hee bukanlah seorang ibu yang selalu ikut campur dengan urusan anaknya apalagi masalah cinta, ia percaya pada pilihan anaknya sendiri, sehingga ia tidak perlu ikut campur dengan urusan anak-anak muda itu. Walaupun Shin Ae dulu sudah meninggalkan anaknya, Tae Hee masih tetap besikap baik pada gadis itu. Ia tidak akan menyalahkan gadis itu, karena ia percaya bila mereka memang berjodoh pasti mereka akan kembali, namun bila tidak jodoh ya mau diapakan lagi.
                “Lalu, sekarang Tae Yong tinggal dimana, apa aku boleh tahu ajumma?”
              Tae Hee mendesah, ia tidak tega juga melihat raut kecewa gadis itu “Baiklah, akan aku tuliskan alamatnya untuk mu” kata Tae Hee. Wanita paruh baya itu berjalan kearah kamarnya dan saat kembali ia sudah memegang selembar kertas yang berisikan alamat rumah anaknya.
                “Ini” Tae Hee memberikan selembar kertas tersebut pada Shin Ae, dan Shin Ae menyambutnya dengan senyum lebar.  Kamsahaeyo[13] ajumma” tak lupa ia ucapkan terimakasih.
                “Oh, apa kau sudah makan? Kalau belum, makan disini saja” Tae Hee menawarkan gadis itu untuk makan dirumahnya.
                Shin Ae langsung menggeleng “tidak usah ajumma, aku sudah makan dan sekarang aku harus pergi “ Shin Ae berdiri dari duduknya dan mengenakan kembali matel bulunya serta berpamitan pada Ibu Tae Yong. Walau sedikit kecewa namun Tae Hee tidak mempermasalahkan itu dan mengantarkan Shin Ae kedepan rumahnya. Saat itu udara semakin dingin walaupun salju tidak turun.
                Shin Ae masuk kedalam mobilnya dan mulai menghidupkan mesin mobil, sebelum menjalankan mobilnya ia kembali melihat secarik kertas yang didapatkannya tadi. Ia kembali tersenyum dan mulai menjalankan mobilnya menuju alamat yang tertulis didalam kertas itu.
***
                Alice baru saja selesai memeriksa Tae Yong. Tadi setelah makan mereka harus pergi lagi ke sebuah acara amal dan baru pulang sekitar pukul tiga sore. Alice merapikan kembali alat-alat medisnya, sesaat ia melirik jam dinding yang terpajang indah diruang tamu rumah mewah itu, sudah pukul empat lewat lima menit. Alice menghela napas panjang, hari ini ia juga harus kembali ke kampus untuk memberikan laporannya kepada dokter Choi. Tadinya ia harap hari ini Tae Yong akan pulang lebih awal, namun ternyata harapan cuma tinggal harapan, ternyata setiap hari pria itu selalu sibuk, kadang syuting, pergi ke acara amal, pemotretanlah dan masih banyak lagi. Sampai kapan ia harus seperti ini. Gadis itu kembali menghela napas panjang.
                Tae Yong memperhatikan Alice yang sedari tadi sudah dua kali menghela napas. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik gadis itu, lucu, aneh tapi menyenangkan. Ia berpikir Alice adalah gadis yang menyenangkan, setiap ekspresi wajahnya selalu membuat Tae Yong tersenyum dan terkadang ingin menggodanya. Terlintas satu ide dalam otaknya, entah kenapa ia ingin melihat apakah gadis itu bisa memasak atau tidak.
                “Alice ssi” panggil Tae Yong. Alice menoleh “Ye” jawabnya cepat.
                “Apa kau bisa memasak? Aku lapar sekali dan kau tahu aku tidak bisa memasak. Tolong masakkan sesuatu untukku” ucap Tae Yong dengan nada menyuruh dan sedikit berbohong mengenai dirinya yang tidak bisa memasak.
                Alice tertegun sesaat, keningnya berkerut memikirkan ucapan pria yang ada dihadapannya itu. Apa katanya tadi, dia menyuruhku memasak? Dia pikir aku ini pembantunya ya atau dia ingin mempermainkanku, oh Tuhan kenapa aku harus bertemu dengan orang seperti ini sih. Tapi kalo aku tidak menuruti keinginannya bisa-bisa dia mengadukanku pada dokter Choi dan nilaiku yang akan bermasalah. Alice kembali menghela napas.
                Cukup lama berpikir, Alice kembali menghela napas panjang “Baiklah, tunggu sebentar” Alice secepat kilat  memasukkan alat-alat medisnya, kemudian ia berjalan kearah dapur. Sampai didapur ia kembali termenung, kali ini ia bingung masakan apa yang harus ia buat untuk pria itu. Ia sama sekali tidak tahu makanan apa yang disukai oleh Tae Yong. Kemudian ia mulai memeriksa isi kulkas pria itu, ia hanya menemukan bihun dan juga sayur mayur . Apa yang bisa ia buat menggunakan bahan-bahan ini? Dan akhirnya tanpa pikir panjang Alice mulai membuat masakan yang ada dalam pikirannya.
                Tae Yong memperhatikan alice yang sibuk di dapur melalui ruang tempat ia menonton televisi yang memang langsung berhadapan dengan dapur. Sesekali ia tertawa geli melihat ekspresi wajah gadis itu yang terkadang mengomel tidak jelas. Tae Yong masih asik memperhatikan Alice ketika bel rumahnya berbunyi. Tae Yong bangkit dari duduknya dan kemudian berjalan menuju pintu, ketika membukakan pintu dan melihat siapa yang berdiri didepan pintunya seketika Tae Yong mematung.
                “Tae Yong a” panggil Shin Ae “Annyeong” ucapnya lagi dan tersenyum.
                Tae Yong masih belum bereaksi, namun sedetik kemudian ia kembali seperti semula “Shin Ae ya” ucapnya tidak yakin “Ke..kenapa kau ada disini?” tanyanya lagi.
                Belum sempat Shin Ae menjawab suara Alice sudah menyadarkan Tae Yong dari keterkejutannya “Tae Yong ssi, makanannya sudah siap” Alice berkata sambil berjalan mendekati Tae Yong.
                Eo” Tae Yong berbalik dan melihat Alice. Shin Ae yang terkejut ikut melihat kearah Alice, matanya menatap gadis itu penuh tanya. Sedangkan Alice masih tidak tahu dengan situasi yang sedang terjadi, matanya bertemu dengan mata Shin Ae. Alice membungkuk sopan dan menyapa gadis itu “Annyeong haseo
                Eo, annyeong” balas Shin Ae yang masih menatap alice dengan penuh tanda tanya.
                Alice masih bingung dengan situasi yang tejadi saat ini, ia kemudian menatap Tae Yong seakan bertanya ‘Apa aku sudah berbuat salah’. Tae Yong menatap Alice dan Shin Ae bergantian, setelah itu ia memperkenalkan Alice pada Shin Ae.
                “Shin Ae ya” panggilnya. Shin Ae mengalihkan pandangannya ke arah Tae Yong “Eo” ucapnya menyahut panggilan Tae Yong.
                Tae Yong menarik Alice mendekat kearahnya. Alice terkejut namun tidak sempat melepaskan dirinya dari tangan Tae Yong. Kini ia dan Tae Yong berdiri berdampingan, sebelah tangan Tae Yong merangkul pundaknya dan seketika Alice langsung menatap pria itu dengan bingung.
                “Kenalkan, ini Alice” kata Tae Yong sambil menatap Alice dan tersenyum “Pacarku” katanya lagi dan membuat Alice terbelalak tidak percaya. Apa katanya tadi ‘Pacar’ sejak kapan ia menjadi pacarnya. Laki-laki ini aneh sekali. Sedangkan Shin Ae diam mematung saat mendengar kata terakhir yang diucapkan Tae Yong. Matanya masih menatap Tae Yong, seakan mencari kebenaran dari kata-katanya tadi.
                “Alice, kenalkan ini Shin Ae, temanku” ucap Tae Yong lagi. Alice menatap mata Tae Yong dan entah kenapa mata itu seakan meminta untuk ditolong.
                “Oh, aku Alice” Alice mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Shin Ae dan gadis itu menyambut uluran tangan Alice ragu-ragu. Saat menyentuh tangan Shin Ae, Alice merasa tangan gadis itu gemetar, entah karena ia kedinginan atau karena ia tidak mau percaya dengan apa yang baru saja didengar dan dilihatnya.
                “Shin Ae ssi, Gwaenchana? Tangan mu dingin dan gemetar” Alice bertanya dengan nada khawatir, sisi kedokterannya muncul begitu saja.
                Shin Ae mengangguk “Aku baik-baik saja”, Alice menatap Tae Yong sejenak meminta ijin untuk membolehkan gadis itu masuk, Tae Yong memahami tatapan Alice dan mengangguk, kemudian Alice mengajak Shin Ae masuk kedalam dan segera membuatkannya segelas teh hangat.
                Shin Ae duduk di sofa panjang dengan perasaan campur aduk, ia berusaha menenagkan diri dan meminum teh hangat yang sudah dibuatkan Alice untuknya. Alice memandang Shin Ae dengan perasaan iba, ia memang tidak tahu ada masalah apa sebenarnya antara Tae Yong dengan gadis yang ada dihadapannya ini, tapi melihat keadaan gadis ini sekarang membuatnya jadi merasa bersalah.
                “Shin Ae ssi, apa kau lapar? Aku baru saja membuat japchae[14]” Alice menawarkan Shin Ae untuk makan japchae buatannya. Shin Ae langsung menggeleng dan tersenyum, senyum yang dipaksakan “Tidak, aku tidak lapar. Oh, sepertinya aku harus pergi, aku kesini hanya sekedar menyapa saja, karena sudah lama aku tidak bertemu dengan Tae Yong” jawab Shin Ae. Ia kemudian berdiri dan berjalan menuju pintu, di belakangnya Alice dan Tae Yong mengikuti.
                “Oh, sayang sekali” Alice berucap dengan polosnya.
                “Baiklah, berhati-hatilah mengemudi” Tae Yong berkata dengan dingin. Shin Ae mengangguk dan kemudian pamit kepada Alice dan juga Tae Yong.
***
                Alice duduk dihadapan Tae Yong yang sedang melahap japchae buatannya. Mulutnya terasa gatal karena ingin bertanya, tapi ia sedikit ragu apakah pria ini akan menjawab pertanyaannya atau malah marah-marah padanya. Sesekali ia berdeham dan melihat reaksi Tae Yong. Tapi tidak ada reaksi apapun, pria itu masih asik dengan makanannya. Ia beranikan diri untuk bertanya.
                “Tae Yong ssi” panggil Alice. Tae Yong menghentikan makannya dan menatap Alice “hm”.
                “Kenapa kau berbohong pada gadis itu?” tanya Alice
                “Tidak kenapa-kenapa” jawab Tae Yong asal dan kembali asik dengan makanannya.
                Alice tidak begitu saja percaya dengan jawaban pria itu “Apa dia mantan kekasihmu?” tanya Alice lagi. Tae Yong melirik Alice sekilas dan kemudian kembali lagi menatap makanannnya.
                “Apa dia mencampakkan mu?” Alice masih terus bertanya. Tae Yong tersedak saat Alice mengucapkan kata ‘mencampakkan’. Melihat Pria yang ada dihadapannya ini bertingkah aneh, Alice semakin yakin kalau tebakannya benar. Merasa kasihan Alice langsung mengambilkan minum dan memberikannya pada Tae Yong yang masih terbatuk-batuk.
                “Kau ini menyedihkan sekali ya” ucap Alice masih menatap Tae Yong yang meminum habis air nya.
                Mwo?” Tae Yong menatap Alice kesal “Yaa! Bukannya tadi kau mau pergi, kenapa masih disini? Lihat sudah jam berapa ini?”
                Alice kembali teringat bahwa ia harus memberikan laporannya pada dokter Choi, ia langsung memukul kepalanya sendiri karena bisa-bisanya melupakan hal yang paling penting. Alice langsung menyambar jaket kulitnya dan segera mengenakannya “Tae Yong ssi, aku pergi dulu” ucapnya sambil berjalan menuju pintu.
                Tae Yong melihat Alice yang begitu terburu-buru jadi merasa bersalah pada gadis itu karena telah menahannya untuk memasak dan juga bertemu dengan Shin Ae “Tunggu sebentar, jangan kemana-mana” ucap Tae Yong. Pria itu berjalan kekamarnya mengambil jaket dan juga kunci mobil, kemudian ia kembali berjalan kearah Alice yang masih berdiri didepan pintu “Ayo, aku antar” ucapnya lagi.
                Alice masih berdiri didepan pintu melihat Tae Yong yang sudah berjalan duluan keluar. Aneh! Pikirnya, sudah hampir satu minggu ini ia bersama dengan pria itu dan hari inilah sikap pria itu yang menurut Alice paling aneh. Biasanya Tae Yong tidak akan mau mengantarnya walaupun itu hanya sekedar mengantar ke depan pintu, tapi hari ini pria itu bahkan mau mengantarnya kerumah sakit ketempat dokter Choi.
                “ALICE SSI
                Alice tersadar dari lamunan, dan berlari menyusul Tae Yong yang sudah berada didepan mobilnya. Secepat mungkin ia menghilangkan pikiran-pikiran anehnya tadi. Mungkin memang sikap Tae Yong yang sebenarnya adalah seperti ini, baik dengan siapa saja.
                “Ayo”  Tae Yong sudah naik dan menghidupkan mesin mobil, Alice berjalan ke samping membuka pintu dan duduk di samping Tae Yong, tak lupa ia kenakan sabuk pengaman. Selama dalam perjalanan Alice sesekali melirik Tae Yong yang serius mengemudi. Ia sedikit merasa canggung karena hanya berdua saja dengan Tae Yong dalam satu mobil, biasanya ada Jung Su diantara mereka.
                Merasa diperhatikan Tae Yong buka suara “Wae?
                “Mm!” jawab Alice bingung.
                “Kenapa dari tadi kau melihatku terus?”
                “Aku, kapan?” Alice menjawab dengan gugup karena katahuan telah menatap pria disampingnya ini.
                Tae Yong mendecak “Barusan kau melirikku kan?” ucapnya Yakin
                Ani, aku sedang melihat pemandangan disebelah sana” Alice menunjuk-nunjuk kearah Tae Yong, tidak tepatnya kearah jendela disamping Tae Yong “memangnya kalau aku melihat kearahmu itu berarti aku sedang melihatmu begitu. Jangan terlalu ke ge-eran Tae Yong ssi
                “Bukan begitu, habisnya kau melirik-lirik seperti itu jadi aku..” Tae Yong bingung harus bicara apa lagi. Alice disampingnya sudah terkikik melihat ekspresi wajah Tae Yong yang sedang panik ini, benar-benar lucu.
                Yaa!” teriak Tae Yong kesal dan membuat Alice berhenti tertawa, kini ia hanya mengulum senyum menahan tawa. “Jangan tertawa lagi kalau tidak ingin aku turunkan ditengah jalan” ancam Tae Yong .
                Mianhae..mian” Alice menarik napas panjang berusaha untuk tidak tertawa lagi.
Hening kembali. Tae Yong kembali ingin berbicara namun gerakan bibirnya terhenti ketika mendengar bunyi nyaring dari ponsel milik Alice. Gadis itu buru-buru mengangkat telpon yang ternyata dari Ibunya di Indonesia.
                “Ya, Ibu!” ucap Alice dengan bahasa Indonesia sehingga membuat Tae Yong meliriknya sekilas. “Aku makan dengan teratur” ucap Alice lagi.
                “Apa? Tidak disini dingin sekali bu, ya aku mengerti” Alice menutup pembicaraan. Tae Yong masih merasa asing mendengar bahasa yang digunakan Alice tadi. Ia memang pernah mendengar bahasa itu saat konsernya beberapa minggu lalu di Indonesia, tapi ia tetap tidak bisa memahami bahasa itu, menurutnya itu bahasa yang paling susuah ia pelajari.
                “Siapa?” tanya Tae Yong spontan tanpa bermaksud benar-benar bertanya.
                “Oh, itu Ibuku” jawab Alice singkat tanpa ingin menjelaskan apa-apa lagi. Tae Yong mengangguk mengerti.
                “Apa kau merindukan orang tuamu?” tanya Tae Yong lagi karena melihat raut wajah Alice yang menjadi sedih ketika berbicara dengan Ibunya tadi.
                Eo, sangat rindu”matanya menerawang menatap jalanan lurus didepan, otaknya kembali mengingat raut wajah Ayah dan Ibunya yang sedang tersenyum bahagia.
                “Kalau kau begitu sedih meninggalkan mereka, kanapa kau mau kuliah disini?”
                Alice menatap Tae Yong, hari ini kenapa pria ini banyak sekali bicara “Karena ini adalah janjiku pada seseorang”
                “Janji? Pada siapa?”
                Alice menyipitkan matanya menatap Tae Yong “Tae Yong ssi, apa kau begitu ingin tahu tentang diriku?” ia balik bertanya. Ia merasa aneh dengan pria yang sedang menyetir ini. Kemarin-kemarin pria ini seolah tidak peduli dengannya bahkan menganggapnya kasat mata, tapi hari ini pria ini banyak sekali bertanya. Benar-benar aneh. Apa semua pria seperti ini?!
                “Kalau kau tidak mau memberitahu ku, ya sudah” ucap Tae Yong seakan tidak peduli.
                “Seseorang yang sangat berarti dalam hidupku”
                Tae Yong menatap Alice sekilas kemudian kembali mengalihkan pandangannya kearah jalanan. ‘Seseorang yang sangat berarti’ Tae Yong mendengus saat mengulang kata-kata Alice didalam pikirannya. Tae Yong sangat yakin siapa orang yang sangat berarti bagi Alice itu ya pastilah seorang Pria, begitulah wanita, akan melakukan apapun demi pria yang dicintainya atau yang disukainya, walaupun itu harus meninggalkan orang tua atau bahkan meninggalkan kekasihnya sendiri. Tae Yong jadi merasa kesal sendiri.
                “Kenapa kalian wanita seperti itu sih?!” Tae Yong berkata dengan nada kesal, marah atau bahkan benci.
                “Mm?” Alice mengerutkan keningnya bingung dengan perkataan Tae Yong. Kenapa lagi pria ini, tadi masih baik-baik saja dan dalam sepersekian detik moodnya sudah berubah seratus delapan puluh derajat “Apa?”
                “Kenapa kalian seperti itu, meninggalkan keluarga hanya untuk seorang pria yang mungkin belum tentu akan menikah dengan kalian” ucap Tae Yong , nada suaranya sedikit tinggi membuat Alice semakin mengerutkan keningnya.
                “Apa maksudmu? Kau ini kenapa? Kenapa marah-marah seperti itu padaku?” ucap Alice emosi, ia kesal melihat Tae Yong yang seakan akan menuduhnya melakukan hal yang tidak-tidak. Alice jadi menyesal dengan pikirannya tadi yang menganggap bahwa pria ini memiliki sifat baik.
                Tae Yong ingin membuka mulut lagi, namun tidak jadi. Ia sadar dirinya sudah salah, tidak seharusnya ia menyalahkan gadis yang duduk disampingnya ini. Gadis ini tidak ada hubungannya dengan sakit hati yang ia rasakan. Ia jadi menyesal sudah mengatakan hal seperti itu.
                Mianhae” ucapnya tulus benar-benar meminta maaf.
                Dwaesseo” ucap Alice sedikit menurunkan nada suaranya, sudah tidak terlihat kesal lagi.
                Tae Yong dan Alice membisu, tidak ada yang bicara sampai mobil biru itu berhenti tepat dihalaman parkir Rumah sakit. Alice melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil itu sambil mengambil tas medisnya yang ada dibangku belakang. Alice masih tampak tidak ingin berbicara.
                “Alice ssi, aku benar-benar minta maaf, tadi aku tidak bermaksud marah-marah padamu”
                Alice menghela napas panjang dan berusaha untuk tersenyum “Tidak apa-apa, terimakasih sudah mengantar ku” Tae Yong ikut tersenyum dan mengangguk. Alice berjalan menjauhi Tae Yong dan masuk kedalam Rumah sakit.
                Tae Yong masih memandangi punggung gadis yang kini telah masuk kedalam rumah sakit besar itu. Ia menghela napas, masih ada sedikit rasa bersalah dalam hatinya walaupun Alice tidak lagi marah padanya. Ia tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Tae Yong kembali menghidupkan mesin mobil dan menjalankan mobilnya menjauhi gedung serba putih itu. Sesampainya dirumah ia harus menjernihkan kembali pikirannya.

Chapter 9
                “Tunggu sebentar” ucap Hani dari dalam apartemennya. Sudah berkali-kali bel apartemannya berbunyi, entah siapa yang datang berkunjung malam-malam dingin begini. Hani memutar kunci dan membuka pintu. Seraut wajah tampan yang tampaknya sudah kedinginan muncul dari balik pintu. Mata Hani terbelalak melihat siapa yang datang.
                Son-bae
                Min Ho tersenyum hangat saat melihat Hani yang terkejut melihat dirinya “Annyeong” ucap Min Ho sambil mengangkat salah satu tangannya keatas. Hani mempersilahkannya masuk dan masih dengan rasa penasaran Hani bertanya “Ada apa Son-bae kesini?”
                “Aku ingin mengajak mu makan, ayo temani aku makan. Tidak enak rasanya makan sendiri” ucap Min Ho sambil melihat sekeliling rumah. Saat itu pula Alice keluar dari kamarnya dan menatap Min Ho bingung, begitu pula Min Ho, matanya terhenti saat melihat seorang gadis yang keluar dari kamar yang dulu sering dipakai Ana. Hani menatap Min Ho yang sedang terbengong-bengong melihat Alice.
                “Ah, Son-bae aku kenalkan” ucap Hani dan membuyarkan lamunan Min Ho. Min Ho menatap Hani seakan bertanya ‘siapa gadis itu’.
              “Alice ssi” panggil Hani, Alice melangkahkan kakinya ketempat Hani “kenalkan Ini Kang Min Ho, senior kita dikampus” ucap Hani memperkenalkan.
                Son-bae ini Alice, mahasiswa pindahan dari Indonesia”
                Alice sedikit membungkukkan badannya menyapa Min Ho “Annyeong haseyo
                “Ah, Ne annyeong” ucap Min Ho sopan
                “Alice ssi, kau belum makan kan?” tanya Hani dan dijawab dengan anggukan Alice “Son-bae mau mentraktir kita makan, kau mau ikut kan?”
                Alice bingung menjawab apa “Ne, tapi apa tidak apa-apa aku ikut?”
                Hani menatap Alice kemudian menatap Min Ho “Son-bae, tidak apa-apa kan temanku ini ikut?”
                Min Ho mengangguk “Tidak apa-apa, lebih banyak lebih seru kan” ia kembali tersenyum.
                “Baiklah tunggu sebentar ya Son-bae” Hani berlari kekamarnya dan mengambil mantel tebalnya. Alice juga melakukan hal yang sama. Sedangkan Min Ho menunggu mereka didalam mobilnya.
***
                Alice, Hani, dan Min Ho sudah duduk disebuah kedai makan dipinggir jalan kota seoul. Min Ho sibuk membolak balikkan daging yang sedang dipanggangnya. Sedang kan Hani sibuk menjelaskan berbagai macam hal mengenai makanan korea.
                “Kau tahu, bulgogi[15]disini sangat enak sekali, soju[16]nya juga enak, kau harus mencobanya” ucap Hani sambil membuka tutup botol soju yang baru saja dipesannya.
                “Hani ssi, mian” kata Alice berhati-hati “Aku tidak bisa minum yang beralkohol” ucapnya lagi
                “Oh, geurae?” Alice mengangguk dan sekali lagi meminta maaf “ tidak apa-apa. Ajumma, tolong air mineral satu ya” ucap Hani pada penjual di tempat itu.
                “Oh, Alice ssi, apa benar kau berasal dari Indonesia?” Min Ho membuka pembicaraan.
                Ye” ucap Alice singkat. Min Ho memperhatikan gadis itu dengan seksama, tadi saat pertama kali melihat Alice keluar dari kamar, sejenak ia seperti melihat Ana. Min Ho memperhatikan gadis itu, wajahnya, mata bulatnya, rambut hitamnya dan juga senyumannya mengingatkannya pada Ana. Mereka benar-benar mirip, apa karena sama-sama dari Indonesia.
                “Alice ssi, apa kau punya saudara?” tanpa sadar Min Ho bertanya, ia ingin tahu apakah gadis ini memiliki saudara, karena gadis ini begitu mirip dengan Ana.
                “Sekarang tidak” Min Ho dan Hani saling pandang mendengar ucapan Alice. Apa maksudnya dengan sekarang tidak. Berarti dulu ia punya, begitukah?
                Museun soriya[17]?” tanya Hani
                “Dulu aku punya seorang kakak perempuan, tapi sekarang dia sudah pergi” Alice menunduk dan terlihat sedih.
                “Ah, mianhae” kata Min Ho dan Hani bersamaan. Alice langsung menggoyang kan tangannya “Tidak apa-apa” ucapnya.
                “Yak, mulai hari kau tidak perlu bersedih lagi. Kau bisa menganggap kami sebagai kakakmu, benarkan son-bae?
                Min Ho mengangguk “Kau bisa memanggilku oppa[18]itu kalau kau mau”
                Oppa!” Alice merasa canggung memanggil seniornya itu dengan sebutan ‘oppa’ itu terasa aneh untuknya dan lagi mereka baru saja bertemu dan berkenalan.
                “Benar seperti itu” ucap Min Ho kembali dan tak lupa memberikan daging bakar yang sudah jadi kepada Alice. “Kamsahaeyo, oppa” ucapnya lagi dan tersenyum malu.
                Yaa, son-bae. Apa aku juga boleh memanggilmu oppa?” tanya Hani. Min Ho mengangguk.
                Jinjja?” sekali lagi Hani bertanya meyakinkan dan Min Ho kembali mengangguk. “Wuah, kalau aku tahu begitu dari dulu saja aku memanggilmu oppa” ucapnya lagi.
                “Itu salahmu sendiri, aku tidak pernah menyuruhmu memanggilku secara resmi kan, kau sendiri yang memanggilku begitu” Min Ho memasukkan daging bakarnya kedalam mulut.
                “Itu kan karena aku menghormati mu sebagai senior” Hani kembali meneguk sojunya yang masih tersisa. “Hani ssi jangan minum terus. Kau belum memakan sedikitpun daging bakarnya” Alice merasa khawatir melihat Hani yang dari tadi hanya minum soju dan belum makan sedikitpun.
                “Baiklah-baiklah, aku akan makan. Kau ini persis sekali dengan eonni yang selalu megkhawatirkan orang lain” Hani mengambil daging yang ada diatas pemanggang dan memasukkannya kedalam mulutnya.
                Alice tersenyum saat Hani mengatakan ia mirip dengan Ana eonni, walaupun orang yang mengatakan itu tidak tahu kalau Alice dan Ana adalah saudara, ia tetap bahagia. Alice kembali melanjutkan makannya dan kembali mengobrol dengan sahabat-sahabat kakaknya ini.
 
Chapter 10
                “Jung su ssi
Park Jung Su yang baru keluar dari mobilnya langsung membalikkan badan dan melihat siapa yang memanggilnya. Dari kejauhan ia melihat sutradara Jang sedang berjalan dengan tergesa-gesa kearahnya. “Sutradara Jang? Ada apa?” tanya Jung Su saat sutradara Jang sudah berdiri dihadapannya.
                “Ah, Jung Su ssi” matanya melirik kedalam mobil Jung Su “Tae Yong tidak ikut?” katanya lagi.
Jung Su menggeleng “Tidak, hari ini dia tidak ada jadwal syuting atau pun pemotretan. Kenapa?”
Sutradara Jang mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalm tasnya dan memberikan amplop itu pada Jung Su. Jung Su menerima amplop itu dengan kening berkerut “Apa ini?”
“Kau lihatlah dulu, aku harap Tae Yong mau bermain di drama ini”
Jung Su membuka amplop coklat itu dan mengeluarkan isinya. Ada sebuah naskah didalamnya. Jung su membuka halam awal, matanya terus membaca karakter-karakter serta para pemain yang akan berpartisipasi dalam drama itu. Seketika matanya terhenti disebuah nama dengan tinta merah, nama yang sangat ia kenal “Bong Shin Ae” tanpa sadar ia mengucapkan nama itu, pelan namun tetap terdengar oleh sutradara Jang.
“Benar, Shin Ae akan bermain juga dalam drama ini. Apa kau tidak suka?”
“Tidak bukan begitu, hanya saja anda pasti juga sudah mendengarnya bahwa hubungan Shin Ae dan Tae Yong itu tidak begitu baik” jelas Jung Su
“Ya, aku memang pernah mendengar itu, karena itulah Jung Su ssi aku memasukkan mereka berdua dalam drama ini, agar hubungan yang tidak baik bisa menjadi baik. Baiklah aku akan menunggu kabar baik dari mu, ku harap tidak akan lama” Sutradara Jang menepuk pundak Jung Su dan kemudian berjalan meninggalkan Jung Su yang masih bingung dengan naskah yang ada ditangannya.
***
                Alice berjalan pelan menyusuri jalan kecil menuju rumah Tae Yong. Salju masih banyak menumpuk di jalan itu sehingga membuat Alice harus lebih berhati-hati lagi dalam berjalan. Di pinggir jalan terdapat beberapa orang anak-anak yang sedang bermain salju, ada yang membuat boneka salju dan ada juga yang melemparkan salju yang sudah dibulatkannya kewajah teman-temannya. Alice tersenyum melihat anak-anak itu bermain. Ia jadi teringat dengan teman-temannya yang ada di Indonesia, dulu saat masih kecil ia juga sering bermain air hujan didepan rumah. Bahkan sampai ia dimarahi oleh Ibunya karena setelah itu ia jatuh sakit. Bermain bersama teman-teman adalah hal yang sangat ia sukai. Namun saat disini, dengan siapa dia akan bermain. Disini ia tidak bisa memikirkan bermain, ia harus berjuang untuk kesuksesannya. Alice menghembuskan napas dan uap putih keluar dari mulutnya, matanya memandang keatas, sinar matahari sedikit menyilaukan matanya, sekali lagi ia menghembuskan napas dan kemudian tersenyum. Ia kembali menatap jalan dan meneruskan langkah kakinya hingga sampai didepan pintu pagar rumah bercat putih itu. Tangannya menekan beberapa angka dan pintu pagar itu terbuka. Beberapa hari yang lalu Tae Yong memberitahukannya kode rumah itu, sehingga jika ia datang ia tidak perlu menunggu Tae Yong membukakan pintu untuknya.
                Alice melangkahkan kakinya memasuki rumah itu dan ketika membuka pintu ia terkejut saat mendengar seseorang berteriak dari dalam.
                Shirheo[19]” ucap Tae Yong keras dan membuang naskah yang ada ditangan Jung Su.
                “Tae yong a, aku mengerti bagaimana perasaanmu. Tapi ini pekerjaan, cobalah untuk tidak mencampurnya dengan urusan pribadi, cobalah untuk bersikap profesional”
                Hyeong
                “Aku mohon padamu, Tae Yong a” Jung Su menatap mata Tae Yong lekat, ia yakin kali ini artisnya ini pasti akan meng-iyakan permintaannya. Tae Yong merasa tidak enak mendengar Jung Su memohon padanya, ini bukan kebiasaan Jung Su. Tae Yong menghembuskan napas panjang dan akhirnya ia menyerah juga. Ia mengangguk dan mengambil kembali naskah yang tadi sempat dilemparnya.
                Alice masih berdiri didepan pintu dan menyaksikan semua peristiwa yang menurutnya aneh itu. Ia berusaha untuk bersuara “ehem” ucapnya dan kedua pria yang tadi sempat beradu mulut itu serempak melihatnya. Alice tersenyum dengan ragu-ragu, kali ini makian apa lagi yang akan didapatkannya. Belum sempat kedua pria itu bicara, alice sudah bicara duluan “Aku tidak akan mengatakan  apapun” ucapnya cepat sehingga membuat kedua pria itu saling berpandangan.
                “Alice ssi, sejak kapan kau ada disana?” Jung Su berjalan menghampiri  Alice yang masih berdiri kaku didepan pintu.
                “Saat..” Alice membasahi bibirnya yang terasa kering kemudian menengok kearah Jung Su dan juga kearah Tae Yong “Saat Tae Yong membuang buku itu” ucap Alice sambil menunjuk kearah naskah yang sudah dipegang Tae Yong.
                “Aku janji tidak akan memberitahu siapapun” katanya lagi sambil mengangkat tangannya berjanji. Tae Yong dan Jung Su kembali saling pandang, kemudian mereka berdua tertawa.
                Alice masih tidak mengerti dengan dua pria dihadapannya ini, tadi mereka saling adu mulut dan sekarang mereka tertawa bersama seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Alice semakin tegang melihat kedua pria itu, ia sama sekali tidak mengerti dengan kedua orang itu.
                “Alice ssi, kenapa kau tegang begitu?” tanya Tae Yong disela tawanya.
                “Aku..tidak, aku tidak tegang” Alice berusaha tersenyum dan mencoba untuk ikut tertawa. Wajahnya kali ini pasti terlihat sangat aneh.
                “Sudah tidak apa-apa, kami percaya padamu” Jung Su menepuk pundak Alice dan tersenyum. Melihat senyum itu Alice yang tadinya masih merasa tegang sudah kembali seperti semula dengan senyuman diwajahnya.
                “Tapi..kenapa kalian bertengkar?” Alice bertanya dengan hati-hati, takut kedua pria itu tersinggung karena mengungkit lagi masalah tadi. Alice menatap Jung Su meminta jawaban dari pertanyaannya. Jung Su mengalihkan pandangannya dari tatapan Alice dan kembali berjalan menuju sofa dan mengambil sebuah majalah dan membacanya, ia tidak berniat memberikan jawaban apapun pada gadis itu. Merasa tidak direspon kini Alice menatap Tae Yong meminta penjelasan. Tae Yong kaget saat tiba-tiba gadis itu menatapnya “Itu..eng..itu” ucapnya tergagap, ia merasa sikapnya saat ini konyol sekali “Itu bukan urusanmu” ucapnya ketus, Alice cukup terkejut mendengar jawaban Tae Yong, ah tidak bukan karena jawabannya tapi lebih kepada nada bicaranya yang sedikit kasar menurutnya. Entahlah Tae Yong juga tidak mengerti kenapa ia malah menjawab dengan tidak sopan seperti itu. ia jadi menyesal saat melihat ekspresi wajah gadis itu.
                “Jawabnya tidak perlu ketus begitukan. Aku juga mengerti” gumam Alice pelan, masih dengan wajah cemberut ia berjalan kearah sofa dan meletakkan tas medisnya serta mengeluarkan isi-isinya “Tae Yong ssi, kemarilah aku akan memeriksamu” Alice mengeluarkan Stetoskop[20], Tensimeter digital[21] dan juga buku tulis kecil serta pulpen dari dalam tasnya.
                Tae Yong berjalan ragu-ragu mendekati Alice yang sudah menggenakan stetoskopnya. Ia sangat yakin bahwa gadis itu kini sedang kesal karena perkataannya tadi. Alice menatap Tae Yong tajam, matanya menyuruh pria itu untuk duduk di sofa panjang yang ada di sampingnya. Walaupun begitu Tae Yong tetap mengikuti keinginan gadis itu untuk duduk di sofa panjang disebelahnya. Tae Yong duduk dengan tegang dan memberikan tangannya pada Alice. Gadis itu mulai mengikat tangan Tae Yong dengan pengukur tensi, mata bulatnya menatap lurus ke arah tensimeter yang dipegangnya, otaknya berkonsentrasi melihat angka-angka yang tertera di layar Tensimeter itu “120/80[22], bagus normal” Alice mencatat apa yang diucapkannya kedalam buku kecil miliknya. Kini gadis itu menyentuh denyut nadi Tae Yong, matanya kini beralih kearah jam tangan miliknya, dari dekat Tae Yong dapat melihat bibir gadis itu bergerak, entah mengucap sesuatu atau sedang menghitung , ia tidak begitu yakin.
                “72 per menit” Alice kembali berucap dan menuliskan lagi dibuku kecilnya.
Alice masih sibuk mencatat setiap detail hasil pemeriksaannya ketika Tae Yong diam-diam memperhatikannya. Ia memperhatikan wajah gadis itu dengan seksama, alis mata tebal namun terukir rapi, mata bulat besar dan jernih, hidung mancung, bibir tipis berwarna pink, kulit yang tampaknya sangat halus tanpa cela, seandainya saja warna kulit gadis itu putih bukan kuning langsat dan matanya sipit bukan bulat besar pastilah orang-orang akan berpikir gadis ini adalah orang korea. Cantik, itulah kata pertama yang terlintas dipikiran Tae Yong saat memperhatikan gadis itu.
“Detak jantung normal, tekanan darah juga normal. Tae Yong ssi, sepertinya kau sangat bisa menjaga kesehatanmu”
Eo?”
“Sepertinya kau tidak butuh aku untuk menjagamu, ah tidak seharusnya aku memang tidak diperlukan. Seharusnya dokter Choi tidak perlu menyuruhku setiap hari memeriksamu seperti ini, dari apa yang aku lihat, kau itu orang yang bisa mengurus diri sendiri, benarkan?” Alice kembali menatap Tae Yong yang masih tidak mengerti apa maksud gadis itu.
“Oh, kau baru tahu. Aku ini memang paling bisa menjaga diriku sendiri, hanya kalian saja yang tidak percaya padaku” Tae Yong melirik Jung Su yang sudah tersenyum menyadari perkataan Tae Yong. Melihat senyum Jung Su, Tae Yong langsung mendengus sebal. Kata-katanya tadi itu untuk menyidir, ini kenapa yang disindir malah tersenyum, membuat Tae Yong semakin sebal.
“Oh, ini apa?” Alice melihat naskah yang tadi dipegang Tae Yong dan melihat isinya. Hampir semua isi dari naskah itu ditulis dengan hangeul [23], untunglah Alice sudah mempelajari tulisan itu sebelum berangkat ke negri ginseng ini.
“Itu naskah drama, kau tidak bisa baca” kata Tae Yong ketus. Entah kenapa setiap kali melihat naskah itu, ia jadi merasa kesal. Alice menatapnya tajam, gadis itu semakin kesal melihat sikap Tae Yong. Apa pria ini tidak bisa menjawab secara baik-baik, apa dia tidak pernah belajar tata kerama ya!
Alice menghela napas panjang, mencoba untuk menenangkan diri. Kembali ia membaca naskah itu, dan matanya tepat menatap satu nama yang sepertinya cukup familiar. Kini gadis itu tersenyum, sekarang ia tahu kenapa pria yang dihadapannya ini dari tadi marah-marah tidak jelas padanya. Ternyata penyebabnya adalah sebuah nama yang ada dalam naskah ini ‘Bong Shin Ae’.
“Jung Su ssi, apa kau yakin artis mu ini akan bersikap profesional?” melihat dari sikap Tae Yong saat ini, Alice yakin pria ini pasti akan membuat masalah jika benar-benar ikut dalam drama itu.
“Aku percaya padanya” kata Jung Su dengan pasti. Ia benar-benar mempercayai Tae Yong, tidak bukan begitu, ia harus mempercayai artisnya itu, karena hanya dengan biginilah Tae Yong akan bisa bersikap profesional. Alice mengangguk mengerti dengan apa yang dikatakan Jung Su. 
“Memangnya kenapa?” Tae Yong sudah duduk manis disamping Jung Su
Alice menggeleng sambil masih tersenyum “Tidak ada apa-apa”
“Tidak mungkin tidak ada apa-apa, ayo cepat katakan!.  Ah! Kau pasti berpikir aku tidak akan bisa bermain bagus didrama ini, ya kan?”
Alice mengerdikkan bahunya “apa hari ini kau tidak ada kegiatan lain?” tanya Alice tidak peduli dengan pertanyaan Tae Yong.
Tae Yong menautkan Alisnya “Kenapa?”
“Kalau tidak ada, aku akan pergi ke kampus dan kembali kesini lagi besok” Alice beranjak dari tempatnya duduk dan mengambil tas medisnya serta kembali mengenakan mantel coklatnya lagi, ia sedikit merapikan rambutnya sebelum mengenakan topi rajut yang baru saja dibelinya kemarin.
“Oh” kata Tae Yong dan Jung Su bersamaan “Ya hari ini kami memang tidak akan kemana-mana, baiklah apa kau mau kami antar?” Jung Su menghentikan kegiatan membacanya dan menjawab pertanyaan Alice serta menawarkan diri untuk mengantar gadis itu.
“Mm” Alice melirik Tae Yong sekilas “kalau Tae Yong ssi tidak keberatan, aku tidak masalah. Lumayan kan, aku bisa sedikit berhemat” ucap Alice sambil tersenyum senang.
“Bagaimana, kau mau ikut atau tidak. Kalau tidak mau, aku sendiri saja yang mengantarnya” sambil menunggu jawaban dari Tae Yong, Jung Su mengambil jaket dan kunci mobilnya. Tae Yong masih belum menjawab, ia masih melihat kedua orang itu yang menunggunya didepan pintu. Entah kenapa tiba-tiba ia tidak suka jika gadis itu hanya pergi berdua saja dengan Jung Su, ia tidak menyukai itu, satu keputusan dibuat “baiklah” katanya sambil mengambil jaket yang tergantung dikamar dan kembali ketempat Jung Su dan juga Alice yang sudah menunggunya didepan pintu “Ayo” Tae Yong berjalan lebih dulu serta mengambil kunci yang ada ditangan Jung Su. Ia mulai menghidupkan mesin mobil dan menyetel penghangat. Alice dan Jung Su masih belum bergerak dari tempat mereka berdiri. Kedua orang itu masih tertegun melihat Tae Yong. Alice benar-benar tidak bisa menebak suasana hati dan juga pikiran Tae Yong. Bahkan bukan hanya Alice yang tidak bisa menerka sifat pemuda itu, Jung Su pun, yang sudah sekian tahun bersama pemuda itu masih tidak bisa mengerti dengan kepribadian artisnya itu.
Yaa, kalian jadi pergi atau tidak” teriak Tae Yong dari dalam mobil.
Eo”sahut Jung Su dan Alice bersamaan. Kemudian mereka bersama-sama menghampiri Tae Yong yang sudah siap untuk menyetir. “Biar aku saja yang menyetir” Jung Su berdiri di depan Tae Yong, menyuruhnya untuk berganti tempat.
Ani, biar aku saja. Sudah hyeong duduk saja, satu hari ini biar aku yang jadi supir mu, kau nikmati saja” Jung Su mengalah dan berjalan ke sebelah Tae Yong. Apapun yang dilakukannya, ia sangat yakin Tae Yong tidak akan merubah keputusannya, jadi ya nikmati saja hari ini.
Tae Yong menjalankan mobil dengan kecepatan sedang, sesekali matanya melirik kearah belakang melalui kaca spion, ia memperhatikan Alice yang kini sedang termenung memandangi jalan. Tae Yong jadi ingin tahu apa yang sedang dipikirkan gadis itu, kenapa wajahnya seperti ingin menangis. Akhir-akhir ini Tae Yong merasa dirinya aneh, setiap melihat gadis itu entah kenapa ia jadi merasakan perasaan rindu, ia jadi ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh gadis itu, kenapa ia jadi seperti ini. Sial, umpatnya dalam hati.
Alice termenung memandang jalan yang sebagian tertutup oleh salju. Ia menatap awan yang mendung dan ia jadi merasa kesepian. Alice jadi merasa rindu dengan keluarganya, rindu dengan kehangatan ayahnya saat membelai rambutnya, rindu dengan aroma masakan ibunya yang sangat nikmat. Dinegeri asing ini, alice tidak punya siapa-siapa. Jika kakaknya masih ada mungkin Alice tidak akan merasa kesepian seperti ini,tapi kakaknya juga pergi meninggalkannya. Ia hanya seorang diri, tanpa ada keluarga yang menemani. Alice menyandarkan kepalanya kekaca mobil dan masih menatap jalanan. Kini matanya terasa panas, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya, cepat-cepat ia seka dengan tangannya. Ada apa dengan dirimu Alice, kenapa kau cengeng sekali. Belum satu bulan kau berada dinegeri asing ini, dan kini kau sudah merindukan tanah air mu. Kau tidak boleh seperti ini, ayo semangatlah dan nikmati hari-harimu disini selagi kau masih punya kesempatan. Alice memarahi dirinya sendiri dan memantapkan hatinya. Tanpa sadar ia menganggukkan kepalanya dan mencoba untuk tersenyum kembali.
Tae Yong tersenyum saat melihat Alice yang berkutat dengan pikirannya. Gadis yang lucu, bagaimana ia bisa memiliki berbagai macam ekspresi seperti itu dalam sepersekian detik. Sebentar murung, sebentar lagi tersenyum, apa gadis ini hanya berpura-pura? Ataukah ia memang begitu lugu? Ah tidak tahu, tapi gadis ini bisa membuat siapapun yang melihatnya merasa nyaman. Kenapa aku merasa nyaman saat bersamanya? Apa mungkin aku – ah tidak, itu tidak mungkin terjadi. Mana bisa aku menyukai gadis yang baru aku kenal. Benar itu tidak mungkin, kalau memang seperti itu aku pasti sudah gila. Tae Yong tersenyum dan menganggukkan kepalanya, setuju dengan apa yang dipikirkannya sendiri. Dari samping Jung Su melihatnya dengan tatapan aneh.
***
                Sudah sepuluh kali Alice mendengar helaan napas Tae Yong. Pria itu kini sedang membaca naskah drama yang akan dimainkannya. Tadi pagi-pagi sekali Tae Yong sudah menelpon untuk segera dantang ketempatnya, tidak seperti biasanya. Tae Yong bersuara seperti kesakitan ,karena merasa sangat darurat gadis itu cepat-cepat bergegas menuju kerumah Tae Yong. Namun saat sampai disana, pria itu malah sedang asik melahap makanannya. Alice sempat kesal dengan apa yang sudah dilakukan Tae Yong hari ini, gara-gara pria itu ia jadi tidak bisa menikmati tidurnya, padahal semalam ia baru tidur sekitar pukul tiga dini hari. Sekarang tubuhnya merasa sangat lelah, matanya juga mengantuk. Tapi ia tidak bisa tidur, karena sekarang ia sedang berada di lokasi syuting Tae Yong di daerah myeongdong. Bagaimana mungkin dia bisa tidur di tempat yang ramai sekali dengan orang-orang yang sedang berbelanja ataupun yang sedang asik menonton syuting drama ini. Alice memutar kepalanya kekiri dan kekanan melihat-lihat tempat itu. Ia jadi ingat kalau selama ini dirinya belum pernah pergi melihat-lihat kota Seoul. Jangankan untuk bersantai, untuk berbelanja saja ia belum. Sekarang rasa kesalnya pada Tae Yong sudah sedikit berkurang, yah setidaknya ia bisa sedikit bersantai disini. Memang sekarang dia sedang berada di pusat perbelanjaan terbesar di korea, tapi saat ini ia tidak membawa uang untuk berbelanja, jadi hanya bisa memandangi keramaian tempat itu. Sedikit menghilangkan rasa stess nya beberapa hari ini.
                Sutradara Jang menghampiri Tae Yong yang masih membaca naskah, menyuruhnya untuk segera melanjutkan syuting yang tadi sempat terhenti karena Shin Ae selalu membuat NG. Alice kembali menatap Tae Yong, tertarik melihat seperti apa pria itu memainkan perannya lagi. Apa kali ini dia akan melakukan kesalahan atau sama seperti tadi, melakukan akting yang sempurna. Kemarin ia sempat berpikir Tae Yong pasti akan melakukan banyak kesalahan, karena bermain dengan orang yang tidak ingin dilihatnya. Namun sayang sekali pemikiran Alice ini salah total, Tae Yong bermain sangat bagus dan terlihat profesional dan yang sering melakukan kesalahan ternyata adalah Shin Ae. Gadis itu berulang kali melakukan NG dan terpaksa sutradara Jang menghentikan sementara syuting agar gadis itu bisa kembali fokus pada perannya.
                “Shin Ae ssi, kau harus lebih fokus dengan peran mu. Jangan melakukan NG lagi. Kau mengerti” Sutradara Jang berbicara dengan Shin Ae dan gadis itu hanya menjawab “Choesonghamnida[24] berkali-kali sambil membungkukkan sedikit badannya. Setelah sutradara Jang meninggalkannya dan berbicara dengan staf-staf yang lain, Shin Ae merubah raut wajahnya yang tadi seperti bersalah berubah menjadi sebal, mulutnya tak henti-henti menggerutu. Alice yang melihat pemandangan itu kini bisa menebak seperti apa karakter artis muda itu. Pantas saja Tae Yong meninggalkannya. Ah! Bukan ya, Tae Yonglah yang sudah ditinggalkannya. Lalu sekarang untuk apa dia kembali mencari Tae Yong. Ingin kembali padanya? Benar-benar gadis yang tidak punya pendirian. Alice mendecakkan licahnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Alice masih menatap Shin Ae saat Te Yong menghampiri gadis itu dan berbicara padanya. Alice memperhatikan mereka dari kejauhan.
                “Shin Ae ya, kau sengaja melakukannyakan?” kata Tae Yong ketus. Ia semakin tidak suka melihat sikap Shin Ae saat ini.
                “Apa maksudmu?”
                Tae Yong mendengus kesal “Aku tahu kau sengaja melakukan banyak kesalahan” katanya lagi dan menatap Shin Ae dengan dingin. Shin Ae membalas tatapan Tae Yong dengan senyuman yang menurut Tae Yong dan juga Alice yang melihat itu hanya senyum palsu, ya hanya sebuah akting.”Kau tahu” katanya santai. Tae Yong menyipitkan matanya, masih menunggu kelanjutan dari kata-kata gadis itu. “aku memang sengaja, agar kau mau berbicara dengan ku dan itu berhasil kan. Sekarang kau berbicara denganku” katanya lagi dengan nada suara yang terdengar senang.
               “Aku minta jangan seperti ini” Tae Yong hendak berjalan meninggalkan Shin Ae, ia masih tidak suka melihat gadis itu. Setiap melihat gadis itu ia pasti akan merasa kesal. Belum sempat Tae Yong berjalan, Shin Ae sudah memegang tangannya “Tae Yong a” ucapnya dengan suara yang lembut, seperti dulu ia sering memanggil Tae Yong. Pria itu tertegun sejenak mengingat kembali saat masa-masa bersamanya dengan Shin Ae, namun sedetik kemudian ia kembali tersadar dan kembali menatap Shin Ae dingin “lepaskan tangan mu” kata Tae Yong datar. Shin Ae semakin tidak ingin melepaskan tangannya dari Tae Yong. Alice yang melihat dari kejauhan dapat merasakan ketegangan yang terjadi antara dua orang itu “Tidak bagus” ucapnya pelan. Tanpa sadar ia berdiri dan berjalan kearah dua orang yang sedang bersitegang itu dan berdiri diantara mereka berdua.
                “Tae Yong a” Tanpa sadar Alice memanggil Tae Yong dengan namanya saja tanpa ada embel-embel ssi dibelakangnya. Shin Ae dan Tae Yong serempak menoleh kearah Alice yang sudah berdiri ditengah-tengah mereka. Tae Yong berkali-kali mengerjapkan matanya menatap Alice. Ia berpikir apa tadi kupingnya salah dengar atau memang gadis itu memanggilnya dengan namanya saja tanpa embel-embel ssi dibelakangnya dan lagi sesaat ia merasa gadis itu memanggilnya dengan lembut, dengan ketulusan.
                “Ada apa?” Alice menatap Tae Yong dan menggenggam tangannya. Tatapan gadis itu seakan berkata ‘Tahan emosi mu, jangan sampai image-mu yang baik menjadi buruk karena masalah ini. Ingat disini banyak wartawan’ begitulah yang ditangkap oleh Tae Yong. Dalam sekejap raut wajah Tae Yong yang tadi terlihat emosi kembali menjadi tenang, dan terlihat lebih santai. Shin Ae yang melihat perubahan wajah Tae Yong benar-benar terkejut. Ia merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dulu ia tidak pernah bisa menenangkan Tae Yong yang sedang emosi, tidak pernah bisa. Bahkan bukan hanya dirinya saja, Jung Su pun tidak akan bisa merubah Tae Yong, tapi gadis yang ada dihadapannya ini dalam sekejap saja dapat merubah itu. sedikit demi sedikit Shin Ae melepaskan tangannya dari Tae Yong dan berjalan mundur  dengan ekspresi tidak percaya.
                “Tae Yong ssi” panggil sutradara Jang yang kini berjalan ketempat Tae Yong. Melihat Sutradara Jang yag semakin mendekat kearahnya, Shin Ae buru-buru kembali ketempat managernya berada. Sutradara Jang menatap Shin Ae dengan aneh, namun itu tidak dipikirkannya. Ia kembali berbicara dengan Tae Yong. Belum sempat ia membuka mulut, matanya melirik kearah samping Tae Yong dan menatap seorang gadis yang menurutnya manis. Sutradara Jang masih menatap Alice dari atas sampai bawah, namun seketika tatapannya terhenti kearah tangan gadis itu yang masih menggenggam tangan Tae Yong. Alice mengikuti kemana mata Sutradara itu menatapnya, dan dengan cepat ia langsung melepaskan genggaman tangannya, kini wajahnya bersemu merah dan dengan malu-malu  tersenyum seraya menyapa Sutradara Jang. Alice bisa merasakan wajahnya memerah karena tiba-tiba saja suhu tubuhnya menjadi panas, padahal saat ini ia sedang berada diluar ruangan yang sangat dingin karena salju turun perlahan. ia mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di kedua pipinya yang terasa hangat. Masih dengan perasaan malu, Alice permisi kembali ketempatnya tadi duduk. Sambil berjalan ia terus menggeleng-gelengkan kepalanya dan sesekali mengumpat dirinya sendiri. Tae Yong dan sutradara Jang melihatnya dengan tatapan seolah berkata’kenapa dengan dirinya’.
                “Siapa dia? Pacar mu ya?”
                Eo” Tae Yong masih tersenyum geli melihat tingkah Alice
                “Wuah, kau bahkan tidak menyangkalnya”  Tae Yong menoleh kearah sutradara Jang dengan kening berkerut “Mwo?” katanya tidak mengerti. Sutradara Jang menunjuk Alice dengan wajahnya “Gadis itu, pacarmu” katanya lagi.
                “Pacar?” Tae Yong mengulangi kata-kata terakhir yang diucapkan sutradara Jang. Apa maksud sutradara Jang dengan’pacar’, apa yang dimaksud sutradara Jang itu gadis itu adalah pacarku. Sutradara Jang menatapnya bingung. Tae Yong tersenyum dan langsung menggeleng “Aniyo, dia bukan pacar ku. Dia itu cuma uisa[25] yang merawatku saja” Tae Yong berkata seakan berharap apa yang dikatakan sutradara Jang adalah benar. Ia berharap Alice benar-benar menjadi kekasihnya.
                Uisa!” ulang Sutradara Jang. Kini keningnya mengerut tidak mengerti apa sebenarnya yang dikatakan Tae Yong. Tadi bukannya Tae Yong mengakui kalau gadis itu adalah kekasihnya dan sekarang dia malah membantahnya dan mengatakan kalau gadis itu cuma dokter yang merawatnya. Sutradara Jang semakin tidak mengerti “Ah, terserah saja lah” katanya sambil berlalu meninggalkan Tae Yong yang masih menatap Alice.
                “Tae Yong ssi, kita mulai syutingnya” sutradara Jang berteriak memanggil Tae Yong dari kejauhan. Tae Yong menoleh kemudian berlari ke tempat sutradara Jang dan Syuting pun dimulai.
                “Yak. Action”



[1] Kakak kelas
[2] Sudahlah, lupakan saja, tidak usah
[3] Sedang apa?
[4] Ho-oh, he-eh, iya
[5] hanya
[6] Apa?
[7] Ya ampun!
[8] Salah satu tempat belanja teramai dan trendi yang ada di seoul, lokasinya dekat dengan pusat kota
[9] Selamat pagi/siang/sore/malam, halo apa kabar (untuk menyapa)
[10] Bibi,tante, panggilan untuk ibu-ibu,wanita dewasa
[11] siapa
[12] begitu
[13] terimakasih
[14] Bihun kecap dengan sayur mayur
[15] Daging sapi bakar yang sudah dimarinasi
[16] Alkohol yang terbuat dari beras
[17] Apa maksudmu
[18] Panggilan perempuan kepada kakak laki-laki
[19] Tidak mau
[20] Salah satu alat yang sudah menjadi simbol dari profesi kedokteran, fungsinya untuk mendengarkan detak jantung, suara usus dan lain sebagainya.
[21] Alat untuk mengukur tensi atau tekanan darah.
[22] Angka 120 menunjukkan tekanan darah atas pembuluh arteri dari denyut jantung yang disebut tekanan darah sistolik sedangkan angka 80 merupakan tekanan darah bawah saat tubuh sedang beristirahat tanpa melakukan aktivitas apapun yang disebut dengan tekanan darah diastolik.
[23] Aksara Korea
[24] maaf
[25] dokter